Oleh: Adiyal Madi (Mahasiswa Universitas Muhammad Natsir Bukittinggi)
Bukalah Alquran halaman mana saja. Sudah pasti akan dirasa oleh tiap-tiap seseorang yang membacanya, betapa besar dorongan Islam untuk memakai akal dan mempergunakan pikiran sebagai nikmat Tuhan yang tidak ternilai harganya,” tulis Mohammad Natsir dalam Capita Selecta jilid pertama (1961: 200).
Kelahiran Mohammad Natsir barangkali menjadi penanda bakal dimulainya babak baru perjuangan bangsa Indonesia menghadapi penjajah, yakni era pergerakan nasional. Natsir lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, tanggal 17 Juli 1908 atau beberapa bulan sebelum Boedi Oetomo (BO) dideklarasikan di Batavia (Jakarta).
Nasir berasal dari keluarga terpandang di Minangkabau. Maka, sudah menjadi kewajaran jika ia mendapatkan gelar pada namanya, yakni menjadi Mohammad Natsir Datuk Sinaro. Gelar nama adat ini diperoleh Natsir setelah dewasa, menikah, dan dipakai secara turun-temurun (Yusuf Abdullah Puar, 70 Tahun M. Natsir, 1978:1).
Besar dalam nuansa pergerakan, Natsir pun tidak ingin ketinggalan terlibat di dalamnya. Tahun 1923, ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dan Jong Sumatranij Bond (JSB). Di sinilah ia mulai bersinggungan dengan para pemuda pergerakan nasional asal Sumatera Barat yang kelak bersama-sama menopang berdirinya RI, termasuk Mohammad Yamin dan Bahder Johan.
Natsir kemudian melanjutkan studinya ke Bandung, tepatnya di Algemeene Middelbare School (AMS). Di sinilah pemikirannya tentang agama dan nasionalisme berkembang pesat. Ia berhubungan baik dan kerap bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka macam Agus Salim, Ahmad Hassan, dan lainya.
Latar belakang Islam yang kuat tidak membuat Natsir alergi dengan modernitas, bahkan yang kental beraroma Barat sekalipun. Justru sebaliknya, jika umat Islam di Indonesia ingin maju, maka pendidikan adalah kunci utamanya.
“Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung pada pengajaran dan pendidikan yang berlaku di dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu pun bangsa terbelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya melalukan dan memperbaiki pendidikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka,” sebut Natsir (1961: 51).
Natsir menolak keras dikotomi “Barat” dan “Timur”. Baginya, pendidikan tidak perlu mempertentangkannya karena Islam hanya mengenal yang haq (baik/benar) dan bathil (buruk/salah). Segala yang baik harus diterima walau dari Barat. Sebaliknya, semua yang bathil wajib disingkirkan meskipun produk ketimuran.
Dalam hal ini, Natsir ingin memadukan konsep pendidikan modern dengan unsur spiritual (agama/Islam) sehingga ia menolak dikotomi “Barat” dan “Timur”. Menurutnya, pendidikan harus punya tempat bergantung secara spiritual yang tidak hanya fokus pada akal dan logika semata.
Mimpi Natsir terealisasi pada 1932 dengan berdirinya sekolah partikelir (swasta) di Bandung yang nantinya bernama Sekolah Pendidikan Islam atau Pendis (Abibullah Djaini, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, 1996: 106). Sekolah ini menggabungkan pengetahuan umum, sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah kolonial, dengan pendidikan Islam.
Pendidikan islam (pendis) tidak sekadar menjadi tempat menuntut ilmu. Hal utama yang diajarkan di sekolah ini adalah kemandirian dan rasa percaya diri. Khotbah Salat Jum’at diisi oleh para murid secara bergiliran. Selain itu, siswanya juga diajarkan banyak hal lain, mulai dari berkebun, kerajinan tangan, bermain biola, hingga tampil dalam pertunjukan drama.***