Oleh: Ustadz Fakhry Emil Habib, Lc, MA
Perbedaan mendasar ibadah puasa dengan ibadah lain adalah prakteknya yang tanpa praktek. Jika untuk shalat, seseorang mesti mempelajari apa saja perbuatan dan perkataan dalam shalat. Sedangkan untuk puasa, seseorang justru mempelajari apa saja yang tidak boleh dilakukan.
Selain itu, puasa juga merupakan ibadah rahasia, yang tak tampak secara zahir. Kita tidak akan mampu membedakan antara dua orang yang berpuasa dengan yang tidak berpuasa. Bahkan dengan aroma nafas yang tak sedap pun, belum tentu seseorang itu berpuasa.
Maka puasa merupakan ibadah yang paling sulit disusupi oleh perasaan riya, ingin dilihat oleh orang lain. Wajar jika Allah memberi pahala yang tak terhitung bagi orang yang berpuasa, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadis qudsi :
كلُّ عمَلِ ابنِ آدمَ له إلا الصيامَ فهو لِي وأنا أجزِي بِهِ إنَّمَا يتْرُكُ طعامَهَ وشَرَابَهُ مِن أجْلِي فصيامُهُ لَه وأنا أجزِي بِه كلُّ حسنةٍ بعشرِ أمثالِهَا إلى سبعمائِةِ ضعفٍ إلا الصيامَ فهو لِي وأنا أجزِي بِهِ
Artinya :
“Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Maka puasa itu adalah untuk Aku, dan Akulah yang akan memberi balasannya. Hanyasanya seorang anak Adam meninggalkan makan dan minum karena Aku, maka puasa itu untuknya, dan Akulah yang akan memberi balasannya. Setiap kebaikan diganjar dengan 10 kali lipatnya sampai 700 kali lipatnya, kecuali puasa, maka puasa itu adalah untuk Aku dan akulah yang akan memberi balasannya,” (HR. Bukhari, Muslim)
Puasa merupakan perlambangan perlawanan seorang manusia terhadap hawa nafsu. Setan sangat mungkin merusak amal seseorang dengan pintu sombong dan riya, namun susah untuk ibadah yang bersifat rahasia, yaitu puasa.
Yang tahu bahwa ia sedang puasa hanyalah seorang hamba dengan Tuhannya. Maka orang yang hendak melatih syahwat, menjinakkan nafsu, harus benar-benar memanfaatkan momen bulan Ramadan sebagai masa ‘menyekolahkan’ syahwat.
Syahwat Menurut Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali memiliki analogi yang menarik untuk syahwat. Beliau mengambil perbandingan kepada hewan buas dan anak kecil. Hewan buas, sebuas apapun ia, dapat dijinakkan oleh manusia. Misalnya adalah burung elang yang akan dipakai untuk berburu. Agar ia jinak dan patuh, maka burung tersebut harus dikurung dulu di ruang gelap, dan dibuat lapar, sehingga ia tak punya lagi tenaga untuk melawan pawangnya. Saat burung elang liar tersebut sudah kehilangan daya, barulah pawang bisa melatihnya untuk kemudian dimanfaatkan berburu.
Hewan-hewan lain juga demikian. Semisal gajah di Indonesia, yang dijinakkan dengan cara dibuat lapar, dan diikat dengan rantai, yang membuat gajah tersebut terjungkal jika ia berusaha untuk lari. Saat tenaganya sudah habis, dan ia paham bahwa tidak ada lagi cara untuk lepas dari ikatan rantai, maka ia akan mengubah cara untuk bisa makan, yaitu patuh dan menurut kepada pawangnya.
Puasa Merupakan Proses
Ini adalah proses, bagaimana seseorang dapat mengubah nafsunya, yang pada dasarnya bersifat ammârah bi al-sû` (menyuruh kepada kebaikan), menjadi nafsu lawwâmah (menyesali perbuatan buruk), atau lebih baik, menjadi nafsu muthmainnah (tenang), yang dapat menjadi sebab masuknya seseorang ke surga. Allah berfirman :
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
Artinya :
“Hai jiwa yang tenang! Kembalilah engkau kepada tuhan engkau dengan kerelaan dan diredhai! Maka masuklah dalam (barisan) hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. AL-Fajr : 27)
Bersambung…