Menu

Mode Gelap
Headline

Sosial Budaya · 21 Apr 2025 12:00 WIB ·

Langkah Kecil Ucal ke Rantau


 Langkah Kecil Ucal ke Rantau Perbesar

Oleh:
Sym. Bahri
Tiku, 1979.

Pagi belum sempat membuka matanya sepenuhnya ketika Ucal sudah duduk bersila di pelataran rumah kayu mereka. Rumah itu berdiri di atas tonggak, berdinding papan tua yang catnya telah mengelupas. Di tangannya ada sepotong singkong rebus, bekal sarapan yang disisihkan ibunya sebelum turun ke sawah. Di kejauhan, terdengar suara ayam berkokok dan anak-anak burung pipit yang merengek lapar dari sarangnya di bawah atap seng bocor.

Ucal, anak laki-laki berusia tujuh tahun itu, memandang ke arah jalan tanah merah yang membelah sawah—jalan yang biasa dilewati ibunya setiap pagi. Ibunya, Bundo Halimah, seorang perempuan kuat, setiap hari bekerja sebagai kuli tani di sawah orang lain. Peluh dan lumpur sudah jadi sahabatnya sejak sang suami, Nurdin, meninggal dunia lima tahun lalu karena diare akut saat memikul karung besar berisi kelapa cungkil dari kampung ke pasar.

Sejak itu, kehidupan keluarga mereka seolah kehilangan arah. Kelima kakak Ucal—Opet, Nani, Bujang, Abus, dan Sutan—terpaksa berhenti sekolah. Tidak ada lagi yang bisa membayar baju seragam, apalagi uang SPP. Mereka memilih membantu ibunya di ladang, atau mengambil upah angkut hasil tani ke pasar nagari.

“Cal, makan dulu yang kenyang. Jangan lupa tutup pintu,” suara Bujang terdengar dari belakang rumah. Anak sulung keluarga itu, kini berumur 15 tahun, tubuhnya tegap tapi kusam oleh matahari.

Ucal mengangguk, tapi matanya menatap ke sebuah gulungan kain sarung yang disimpan di pojok kamar—itu bukan kain biasa, melainkan bekal Bujang jika jadi merantau ke Jakarta. Sudah berbulan-bulan Bujang mengumpulkan uang upah dari bekerja kuli tani di sawah, merambah ladang orang dan menjual rotan yang dikumpulkan dari hutan.
“Apa abang Bujang betul-betul akan pergi?” tanya Ucal pelan, suatu malam ketika mereka berbagi tikar pandan lusuh di ruang tengah.

Bujang menatap langit-langit rumah. “Iya, Cal. Di kampuang kita tak punya sawah dan lading untuk kita olah. Bujang harus cari rezeki di rantau. Di Jakarta, katanya kerja banyak, asal rajin. Bujang akan cari cara supaya nanti kau bisa terus sekolah.”
“Tapi Cal takut abang Bujang nggak balik…,” suara Ucal mengecil, nyaris seperti bisikan angin.

Bujang mengusap rambut hitam lebat adiknya yang belum terpangkas sejak lebaran tahun lalu. “Doakan Bujang selamat di rantau. Suatu hari nanti, Cal juga akan besar. Dan kau harus lebih hebat dari Bujang. Kau harus sekolah tinggi, supaya kampung ini punya orang pandai.”

Hari keberangkatan tiba. Bundo Halimah menyiapkan nasi bungkus dengan dendeng balado yang hanya bisa dibuat ketika mereka menjual ayam satu-satunya. Paman mereka, Mak Ongga, yang meski miskin juga, meminjamkan sedikit uang simpanannya untuk tambahan ongkos dan pegangan Bujang di perjalanan.

Hari itu, langit Tiku mendung, seolah turut menyimpan berat hati Uni Halimah melepas anak sulungnya pergi. Di pelataran rumah, sebuah bus antarkota dalam provinsi berhenti sebentar, mengeluarkan suara desis rem dan derit pintu yang dibuka paksa.
Dengan tas kecil berisi baju, sedikit uang, dan segenggam harapan, Bujang menatap rumahnya sekali lagi yang tertutup awan hitam dan terhalang bukit. Air mata tak tumpah, tapi tertahan dalam sorot mata yang menyimpan rindu bahkan sebelum benar-benar berpisah.

Ucal menggenggam erat tangan kakaknya. “Abang janji pulang ya, kalau Cal sudah pandai baca.”

Bujang tersenyum. “Janji. Dan Cal janji juga ya, jangan malas belajar. Nanti Bujang kirim surat dari Jakarta.”

Ucal mengangguk. Dalam hatinya, ia menyimpan doa yang lebih panjang dari umur hidupnya: agar satu per satu mimpi mereka bisa hidup, meski dimulai dari sebuah rumah kecil di sudut Tiku, yang dibalut kabut pagi dan cinta yang tak pernah usai.
“Bujang, cepat, nanti busnya pergi,” seru Mak Ongga sambil mengangkat karung kecil milik Bujang.

Bujang memeluk ibunya erat-erat, lalu mencium kening Ucal yang berdiri kaku dengan mata berkaca-kaca.

“Cal jaga Ibu ya,” katanya sambil menepuk pelan kepala adiknya. Ucal tidak menjawab. Hanya diam, matanya mengikuti langkah kaki kakaknya menuju pintu bus.

Bus mulai berjalan perlahan, sambil terus mengangkut penumpang lain di sepanjang jalan. Tapi langkah kecil Ucal justru semakin cepat. Hatinya berdegup. Tak ada lagi yang bisa menahannya.

“Abang…!! Tunggu Cal…!!” teriaknya sambil berlari mengejar bus yang masih melaju pelan di jalan tanah merah.

Penumpang di dalam menoleh. Sopir hanya sekilas menatap kaca spion. Bujang yang duduk di dekat jendela menoleh ke belakang, lalu berdiri spontan.

“Pak! Berhenti dulu! Itu adik saya…!!” teriaknya pada sopir.

Bus berhenti mendadak. Debu berhamburan. Bujang melompat turun dan menyambut Ucal yang terengah-engah, keringat membasahi dahinya.
“Cal, kenapa kejar bus?!” Ucal terisak, tak mampu menjawab. Ia hanya memeluk Bujang erat, seperti tak mau dilepas lagi.

Mak Ongga ikut turun. “Aduh, anak ni… Cal, nanti ikut Mak Ongga ya setelah abangmu naik kapal.”

Bujang menatap Ucal, lalu mengangguk kecil. “Sudahlah, biar naik saja. Nanti sesampai di Padang, Cal bisa pulang sama Mak Ongga.”

Mereka naik kembali ke dalam bus, bertiga. Ucal duduk di pangkuan Bujang, tubuhnya masih gemetar, tapi kini ada senyum kecil di bibirnya.

Mereka tiba di Padang sore harinya, dan menginap semalam di rumah Mak Etek Mar, seorang kerabat yang tinggal di pinggiran kota. Malam itu, Ucal tidur nyenyak, merasa aman berada dekat dengan Bujang.

Pagi-pagi, mereka bertiga berangkat ke Pelabuhan Teluk Bayur. Kapal Belawan, besar dan hitam dengan cerobong mengepul, sudah bersandar di dermaga. Setelah urusan tiket selesai, Bujang bersiap naik diiringi Mak Ongga. Ucal, seperti dijanjikan, akan ikut sampai pelabuhan saja—lalu kembali bersama Mak Ongga ke Tiku.

Tapi takdir berkata lain.
Saat kapal mulai bersiap berangkat, dan orang-orang sibuk menaikkan barang, Ucal kembali menyelinap di antara para penumpang. Tak ingin berpisah. Tak mau pulang.
Ia berhasil naik ke kapal tanpa diketahui. Di atas geladak, ia bersembunyi di balik tumpukan barang. Guncangan laut membuatnya mual, tubuh kecilnya lelah, dan perutnya kosong.

Beberapa waktu kemudian, Bujang menemukannya.
“Cal?! Apa lagi ini?!” serunya panik. Ucal memalingkan wajah, takut dimarahi. Tapi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk lari. Bujang menarik napas dalam-dalam, lalu mendekap adiknya.

“Kau memang keras kepala, Cal… Tapi abang ngerti. Kau nggak mau sendiri. Mulai sekarang, kita hadapi rantau ini sama-sama. Tapi abang janji… abang akan jaga Cal.”
Di atas kapal Belawan, dua bersaudara itu pun berlayar, meninggalkan tanah kelahiran yang tak mampu memberi mereka cukup ruang. Tapi mereka bawa cinta dan ketabahan dari kampung—modal utama untuk bertahan di rantau. (*)

Artikel ini telah dibaca 55 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kenali Pengaruh & Hubungan Budaya dengan Perilaku Konsumen

30 September 2022 - 13:51 WIB

Ternyata Sepenting Ini Peran Budaya dalam Pendidikan!

23 September 2022 - 10:32 WIB

Fungsi Keragaman Budaya di Indonesia, Kenali Lebih Dekat!

21 September 2022 - 13:55 WIB

Ciri Kebudayaan Nasional, Identitas dan Jati Diri Bangsa

20 September 2022 - 14:35 WIB

Keragaman Sosial Budaya Indonesia, Ini Jenisnya

15 September 2022 - 07:00 WIB

Hubungan Budaya dan Agama yang Perlu Anda Ketahui

13 September 2022 - 10:52 WIB

Trending di Sosial Budaya