Yendri Junaidi, Lc, MA.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، فَاسْمَعُوْا قَوْلَ اللهِ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا (سورة النساء : 31).
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.”
Kita sering terjebak dengan istilah, label dan penamaan. Baik istilah itu berkaitan dengan agama, budaya, politik dan sebagainya. Banyak contoh yang bisa kita sampaikan. Tapi dalam kesempatan ini kita hanya akan fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Misalnya, istilah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sebagian besar kita tahu wajib itu artinya kalau dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa. Sementara sunnah artinya dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa.
Sering kita terjebak dengan kata-kata ‘tidak apa-apa’ ini.
Akibatnya, apapun bentuk ibadah yang oleh para ulama dikatakan sebagai sesuatu yang sunnah kita hanya mengerjakan jika sempat saja. Kalau tidak ya tidak. Misalnya shalat sunnah rawatib. Berapa dari kita yang rutin mengerjakannya dan bersungguh-sungguh untuk tidak melewatkannya.
Begitu juga dengan istilah haram dan makruh. Kita tahu haram itu kalau dikerjakan berdosa, jika ditinggalkan berpahala. Ia adalah lawan dari wajib. Sementara makruh, kalau dikerjakan tidak apa-apa, tapi jika ditinggalkan berpahala. Ia lawan dari sunnah.
Karena itu, perbuatan yang oleh para ulama dikatakan sebagai sesuatu yang makruh kita tak terlalu peduli untuk melakukannya. Contohnya merokok. Banyak orang yang masih tetap merokok dengan alasan, “Kan tidak haram. Hanya makruh saja kan?”
Hal yang serupa juga terjadi ketika kita mendengar istilah syirik kecil. Syirik kecil itu adalah riya. Riya disebut sebagai syirik kecil. Kita tahu syirik adalah dosa yang sangat besar. Tapi ketika dosa yang besar ini digandengkan dengan kata ‘kecil’ kita pun menganggapnya enteng. Akhirnya amal perbuatan kita penuh dengan riya.
Yang lebih parah dari itu adalah dosa yang di sisi Allah sesungguhnya besar tapi oleh kebanyakan kita dilakukan dengan enteng. Sebaliknya dosa yang sebenarnya tergolong kecil, kita malah sangat ketakutan.
Contoh sederhananya; makan babi. Ini dosa yang besar. Rasanya tak ada seorang muslim pun yang masih punya iman mau memakan daging babi. Ia akan sangat berhati-hati. Tapi membicarakan orang lain dengan sesuatu yang tidak baik atau bergunjing, kebanyakan kita biasa saja melakukannya dan tidak merasa jijik.
Padahal mana yang lebih besar dosanya, dosa makan babi atau dosa bergunjing? Makan babi haram, tapi ada beberapa kondisi kita dibolehkan memakannya. Sementara bergunjing, diibaratkan oleh Allah seperti memakan daging manusia yang sudah mati. Siapa yang tidak jijik memakan bangkai manusia, apalagi kalau manusia itu orang yang kita kenal? Tapi kenyataannya, kita merasa lebih jijik dan takut makan daging babi daripada bergunjing.
Minum khamar atau mabuk-mabukkan adalah sebuah dosa yang besar bahkan ini dari semua kekotoran. Tapi sebesar apapun dosa minum khamar, apakah lebih besar dari dosa membunuh orang lain? Jelas tidak. Bagi sebagian orang, ia begitu berhati-hati kalau menginap di hotel agar tidak disodorkan minuman bir. Itu bagus.
Tapi sayangnya, ia begitu enteng memandang masalah pembunuhan. Baginya nyawa manusia tidak begitu berharga. Bahkan diantara mereka ada yang karena berbeda cara pandang dengan orang lain siap untuk mencapnya sebagai kafir lalu membunuhnya.
Cara kita memandang sebuah dosa perlu diperbaiki.
فَاعْتَبِرُوْا يَا أُولِى اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ