Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH.
Guru Besar UIN IB
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat
Dewan Perwakilan Rakyat dalam Sidang Paripurnanya tanggal 30 Juni 2022 bersama Pemerintah, telah mengesahkan sejumlah RUU menjadi UU. Presiden juga sudah menandatangani UU tersebut pada tanggal 22 Juli 2022.
Dalam konsideran, UU tersebut menyatakan bahwa prioritas otonomi daerah harus memperlakukan potensi daerah dalam berbagai bidang.
Seperti kekayaan alam, budaya, kearifan lokal, kondisi geografis dan demografis, serta tantangan dan dinamika masyarakat yang dihadapi dalam tataran lokal, nasional dan internasional.
Untuk mempercepat menuju kesejahteraan masyarakat Propinsi Sumatera Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 sebagai UU tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, sehingga perlu diganti.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa UU Propinsi Sumatera Barat bukan hanya sekedar untuk memperbaharui dasar hukum pembentukan Propinsi Sumbar.
Melainkan juga untuk memperkuat keberadaan otonomi daerah Propinsi Sumbar, memperlakukan potensi dan kearifan lokal dalam berbagai bidang.
Dalam UU tersebut terkait konteks kearifan lokal. Khususnya dalam pasal 5 huruf C, Propinsi Sumatera Barat dicirikan dengan falsafah Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Ada kontroversi, sehingga timbul pro dan kontra terhadap UU tersebut. Bagi kelompok kontra, mereka bukan tidak setuju dengan ABS-BSK-nya, tapi lebih karena rumusan UU tersebut mengandung kelemahan dan diskriminasi terselubung.
Khususnya terhadap masyarakat Mentawai yang nota benenya bukan Etnis Minangkabau.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa kepulauan Mentawai termasuk etnis Minangkabau, hanya saja agak terlambat berintegrasi ke Negeri Tepi.
Terlepas dari silang pendapat itu, sebenarnya UU tersebut bisa dibuat turunannya dalam bentuk Perda, seperti Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari di Sumbar.
Dalam Perda Nomor 7 Tahun 2018 itu Mentawai terakomodir dan tidak ada masalah sampai sekarang.
Memang UU Nomor 17 Tahun 2022 tersebut khususnya yang mengatur karakteristik Propinsi Sumbar dalam pasal 5 huruf C dinyatakan Adat Budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah ABS-SBK dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yg menunjukan karakter, religus dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumbar.
Sedikit mengganjal adalah frasa “ABS-SBK sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku”. Hal ini dapat menimbulkan makna bahwa falsafah ABS-BSK, dijalankan sesuai dengan adat salingka nagari.
Rumusan ini jelas mengandung kekeliruan, karena bagaimana mungkin ABS-BSK sebagai filosofi hidup masyarakat Minangkabau, justeru akan dijalankan sesuai adat salingka nagari.
Mestinya adat salingka nagari yg harus dijalankan sesuai falsafah ABS-SBK. Apalagi dilihat dalam perspektif teori norma ABS-BSK berada dalam posisi sebagai norma fundamental masyarakat Minangkabau. Sedangkan adat salingka nagari adalah keberlakuan hukum adat dalam wilayah tertentu .
Kita mengusulkan kepada Gubernur dan DPRD Provinsi Sumatera Barat agar secepatnya membuat Perda turunan. Karena UU ini secara hukum tidak mungkin lagi dirubah sesuai bunyi pasal 72 UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Peraturan Perundang-undangan.
Apabila sebuah RUU telah menjadi UU dan masih terdapat kesalahan teknis penulisan, maka dapat dilakukan perubahan.
Adapun kesalahan teknis penulisan yang dimaksud adalah hanya untuk menjelaskan salah ketik, salah tanggal, nomor, pasal, nomor urut, pragraf, ayat dan kalimat yang dapat diperbaiki.
Adapun subtansi dari UU, sama sekali tidak dapat diperbaiki. Yang mungkin dilakukan hanya proses legislasi biasa, seperti Perda. Tapi kalau ada yang mau melakukan judicial review rasanya tidak perlu.
Karena selama ini Visi dan Misi Gubernur dan Wagub sudah mencantumkan “Mewujudkan masyarakat Sumatera Barat yang Madani Berbudaya ABS-SBK”.
Ada yang mengatakan dengan mencantumkan falsafah ABS-BSK ini menjadi Hukum Positif, akan membuka peluang untuk diterapkan Syariat Islam di Propinsi Sumatera Barat.
Dalam UUD 1945, pencantuman ciri atau karakteristik sebuah Propinsi sama sekali tidak memungkinkan sebuah Propinsi menjadi daerah khusus sebagaimana dimaksud 18 B UUD 1945.
Pencantuman ciri atau karakteristik sebuah Propinsi sama sekali tidak mengubah Status Propinsi, kecuali diberi otonomi luas.
Terakhir, kita sampaikan ucapan terimakasih kepada DPR RI dan Pemerintah yang telah memasukan Falsafah Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah dalam Hukum Positif. Sehingga posisinya menjadi kuat. (*)