Menu

Mode Gelap
Headline

Kajian Islam · 28 Okt 2022 08:59 WIB ·

Khutbah Jumat: Menduakan Niat


 seri Kutbah Jumat medikita.com Perbesar

seri Kutbah Jumat medikita.com

Yendri Junaidi, Lc., MA

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، أَمَّا بَعْدُ

فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، فَاسْمَعُوْا قَوْلَ اللهِ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (سورة الكهف : 110) 

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnhya aku hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahf ayat 110).

Kaum muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah …

Asbab Turun Ayat

Ayat di atas turun berkenaan dengan seorang sahabat yang datang menemui Nabi saw dan bertanya: “Ya Rasulullah, aku suka berperang di jalan Allah. Tapi aku juga ingin posisiku dilihat orang.”

Di satu sisi ia ingin dilihat oleh Allah dan diberi pahala, tapi disisi lain ia juga ingin dilihat oleh orang. Ia menduakan niat. Nabi Saw terdiam. Lalu Allah Swt menurunkan ayat ini.

Sebagian orang bertanya-tanya, sebegitu pentingkah masalah niat? Tidak cukupkah kita beramal dengan benar, sesuai rukun syarat, membantu sesama, menyantuni anak yatim dan orang miskin? Kenapa ‘dipersulit’ dengan masalah niat ini?

Analogi

Bayangkan Bapak punya anak asuh. Anak orang miskin yang Bapak tanggung biaya sekolahnya. Hanya biaya sekolah saja. Tidak termasuk biaya makan dan biaya-biaya yang lain. Ia pun lulus. Setelah lulus, ia ditanya orang, siapa yang telah berjasa membantunya hingga lulus padahal ia dari keluarga yang miskin. Ia lalu menjawab, “Yang membuat saya lulus adalah Bapak A dan Bapak B”.

Ia menyebut dua nama; satu nama Bapak, dan satu lagi nama orang lain yang Bapak tahu persis ia tak pernah membantu anak itu seperti yang Bapak lakukan. Apa yang Bapak rasakan? Adalah wajar kalau Bapak merasa kesal dan marah. Bapak akan menilai bahwa anak itu tidak tahu berterimakasih. Padahal Bapak hanya menyantuni biaya sekolahnya saja.

Kalau Bapak yang hanya membantu biaya sekolah anak itu tersinggung ketika nama Bapak digandengkan dengan nama orang lain, apalagi Allah Swt yang semua nikmat yang kita rasakan pasti berasal dari-Nya. Tidak dari yang lain.

Kalau demikian, apakah pantas kita beribadah, berbuat baik, membantu orang lain, kita niatkan untuk mendapat pahala dari-Nya sekaligus juga untuk disebut-sebut orang lain?

Ketika nama kita lupa disebut sebagai salah seorang donatur atau penyandang dana sebuah acara, kita merasa marah dan diabaikan. Bukankah pantas kalau Allah marah dan murka? Apakah ada kebaikan yang kita terima yang datang dari selain-Nya? Kebaikan yang datang dari manusia pun pada hakikatnya bersumber dari Allah juga. Siapa yang menggerakkan hati manusia untuk membantu kita? Siapa yang membuat mereka mau memperhatikan kita?

Allah Berlepas Diri

Maka kalau kita menduakan niat, Allah akan berlepas diri dari kita. Di hari kiamat kelak kita disuruh untuk meminta pahala dan balasan dari orang yang kita inginkan pujian dan perhatiannya ketika kita beramal. Orang yang bersedekah, tapi ingin pahala sekaligus ingin dilihat orang, di hari kiamat kelak Allah akan katakan, “Minta pahalamu dari orang-orang itu! Karena sebenarnya engkau beramal dan bersedekah untuk mereka.”

Kenapa Allah begitu ketat dalam masalah niat ini? Apakah Allah akan merugi ketika amal ibadah tidak diniatkan untuk-Nya? Hasya lillah, sungguh tidak sama sekali. Apakah Allah tersinggung ketika niat diduakan seperti tersinggungnya Bapak yang menyantuni anak yatim tadi? Hasya lillah, tidak sama sekali.

Kita mesti meyakini bahwa apapun bentuk amal dan kebaikan yang kita lakukan, sedikitpun tidak akan menguntungkan bagi Allah swt. Semua keuntungannya kembali kepada kita. Karena Dia Maha Kaya, kita yang miskin.

Mari kita ingat-ingat, apakah ada diantara amalan yang kita lakukan bukan hanya untuk Allah Swt semata? Mari uji amal-amal dan kerja-kerja baik kita selama ini.

Menjaga Ikhlas

Coba kita perhatikan bagaimana orang-orang dulu menjaga keikhlasan amalnya. Seorang hamba shaleh pernah berkata: “Saya telah shalat selama 30 tahun. Selama itu pula saya selalu shalat di shaf pertama.” Kita bisa bayangkan kesungguhannya dalam beribadah. Selama 30 tahun selalu shalat di shaf terdepan. Tapi kemudian tersadar bahwa ternyata itu semua bukan karena Allah.

Bagaimana ia menyadari hal itu? Ia berkata: “Sudah 30 tahun saya shalat di shaf terdepan. Saya menyangka semua itu karena Allah. Sampai suatu ketika, saya terlambat. Akhirnya saya shalat di shaf kedua. Tiba-tiba muncul rasa malu dalam diri saya. Malu dilihat orang berada di shaf kedua. Apa kata orang? Orang yang selama ini shalat di shaf pertama dan tak pernah ketinggalan takbiratul ihram, hari ini shalat di shaf kedua? Aku pun merasa malu. Lalu aku tersentak, kenapa aku harus merasa malu?

Akhirnya aku tersadar, bahwa ternyata yang membuatku senang dan bahagia selama ini shalat di shaf pertama adalah karena orang melihatnya dan orang menghormatiku sebagai seorang yang menjaga shaf pertama. Karena kalau tidak, kenapa aku harus merasa malu ketika berada di shaf kedua? Itu tandanya shalatku selama ini di shaf pertama bukan karena Allah.”

Orang shaleh yang lain menceritakan tentang diri dan amalannya. Ia berkata: “Suatu malam aku membaca Al Quran sampai waktu sahur. Surat terakhir yang aku baca adalah surat Thaha. Karena letih aku tertidur. Dalam mimpi itu aku melihat malaikat turun dari langit. Di tangannya ada catatan amal kebaikan. Aku bertanya catatan amal siapa itu? Ia menjawab: ini catatan amalmu. Aku penasaran dan aku lihat catatan itu.

Di akhir catatan itu aku lihat tertulis amal membaca Al Quran; amal membaca surat Thaha. Catatan itu ditulis dengan tinta dari cahaya. Di bawah setiap kata dari surat itu tertulis: 10 pahala, 10 pahala. Kecuali satu kalimat di bagian akhir surat, tidak ada tulisan 10 pahalanya. Kosong.

Aku protes: “Kata ini sudah aku baca, kenapa tidak ada pahalanya?” Malaikat menjawab: “Benar, engkau sudah membacanya dan sudah kami catat. Tapi Allah Swt menyuruh kami untuk menghapusnya. Karena kata itu dibaca bukan untuk mengharap ridha-Nya.” Aku pun menangis, dan berkata: “Kenapa? Aku telah membacanya karena Allah.” Malaikat itu menjawab: “Tidak. Ketika engkau membaca kalimat itu, kebetulan ada seseorang yang lewat di samping rumahmu, dan engkau mendengar gerak langkahnya. Lalu engkau sengaja meninggikan suaramu agar terdengar olehnya bahwa engkau sedang membaca Al Quran.”

Cerminan Diri

Ketika memberi pada orang, mari lihat, sudahkah kita benar-benar memberi karena Allah atau karena ada yang kita cari di balik pemberian itu. Katakan ada dua orang anak yang berhak dan perlu kita santuni. Yang satu anak orang yang tidak kita kenal orang tuanya. Yang kedua anak teman kita. Mana yang akan kita bantu? Kalau kita bantu anak teman kita dengan harapan ia akan sampaikan pada ayahnya lalu ayahnya akan ‘maotakannya’ di lapau sehingga banyak orang tahu kalau kita membantu anak sahabat sendiri dan seterusnya, berarti kita memberi bukan karena Allah. Atau karena Allah dan karena orang itu. Berarti niat kita sudah ganda.

Oleh karena itu, orang-orang shaleh dahulu berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan ibadahnya dari pandangan orang lain, kecuali ibadah-ibadah yang tidak dapat tidak pasti dilihat orang lain seperti shalat berjamaah, haji, umrah dan sebagainya. Tapi ibadah yang bisa disembunyikan mereka akan menyembunyikannya.

Dawud bin Abi Hind, berpuasa selama 40 tahun setiap hari, tidak ada yang mengetahuinya termasuk isterinya. Bagaimana caranya? Setiap hari ia berniat untuk puasa. Pagi-pagi sebelum keluar rumah, ia diberi bekal untuk makan siang oleh isterinya. Isterinya menduga ia tidak puasa. Di tengah jalan, bekal itu ia sedekahkan pada fakir miskin dan ia lanjutkan puasanya.

فاعتبروا يا أولى الألباب لعلكم تفلحون

Artikel ini telah dibaca 184 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Ibadah Puasa (2)

5 April 2023 - 11:46 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Puasa Ramadan (1)

4 April 2023 - 14:18 WIB

Khutbah Jumat: Adil Dalam Menilai

17 Februari 2023 - 07:58 WIB

Khutbah Jumat: Iman Adalah Pengalaman

10 Februari 2023 - 07:50 WIB

Khutbah Jumat: Al-Quran, Sudahkah Kita Pahami?

3 Februari 2023 - 07:00 WIB

Khutbah Jumat: Memahami Hakikat Beragama

11 November 2022 - 10:10 WIB

Trending di Kajian Islam