Yendri Junaidi, Lc., MA
ุงูุณูููุงูู
ู ุนูููููููู
ู ููุฑูุญูู
ูุฉู ุงูููู ููุจูุฑูููุงุชููู
ุงููุญูู
ูุฏู ูููู ุฑูุจูู ุงููุนูุงููู
ููููู ููุงูุตูููุงูุฉู ููุงูุณูููุงูู
ู ุนูููู ุฃูุดูุฑููู ุงููุฃูููุจูููุงุกู ููุงููู
ูุฑูุณููููููู ููุนูููู ุขูููู ููุตูุญูุจููู ุฃูุฌูู
ูุนููููู .
ุฃูู
ููุง ุจูุนูุฏู ุ ููููุง ุนูุจูุงุฏู ุงููููุ ุฃูููุตูููููู
ู ููููููุณููู ุจูุชูููููู ุงูููู ููููุฏู ููุงุฒู ุงููู
ูุชููููููููุ ููุงุณูู
ูุนูููุง ูููููู ุงูููู ุชูุนูุงููู ููู ููุชูุงุจููู ุงููููุฑูููู
ู : ุฅููู ุชูููููุฑููุง ููุฅูููู ุงูููููู ุบูููููู ุนูููููู
ู ููููุง ููุฑูุถูู ููุนูุจูุงุฏููู ุงููููููุฑู ููุฅููู ุชูุดูููุฑููุง ููุฑูุถููู ููููู
ู ููููุง ุชูุฒูุฑู ููุงุฒูุฑูุฉู ููุฒูุฑู ุฃูุฎูุฑูู ุซูู
ูู ุฅูููู ุฑูุจููููู
ู ู
ูุฑูุฌูุนูููู
ู ููููููุจููุฆูููู
ู ุจูู
ูุง ููููุชูู
ู ุชูุนูู
ูููููู ุฅูููููู ุนููููู
ู ุจูุฐูุงุชู ุงูุตููุฏููุฑู
โJika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran untuk hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur Dia meridhai syukur itu untukmu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. kemudian kepada tuhanmu lah kamu akan kembali, lalu Dia beritakan kepadamu apa yagn telah kamu kerjakan. Sungguh, Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam dada.โ (QS. az-Zumar ayat 7).
Kaum muslimin sidang jamaah Jumat yang dirahmati Allah Swtโฆ
Kisah Inspiratif
Pembahasan khutbah kita kali ini terinspirasi dari sebuah postingan yang saya baca beberapa waktu yang lalu di salah satu media sosial. Dalam postingan itu disebutkan ada sebuah madrasah yang punya cara โunikโ dalam menghukum anak didiknya yang terlambat apel pagi. Hukumannya adalah membaca al-Quran minimal setengah juz.
Membaca hal itu ada yang menulis di kolom komentar: โWah, berat juga yaโฆโ. Lalu dijawab oleh yang membuat status (sepertinya ia adalah guru di madrasah itu), โTidak apa-apa, paling tidak ada pahalanya bagi merekaโฆโ.
Hikmah
Ada dua poin yang ingin kita sorot:
Pertama, bagaimana cara menentukan jenis hukuman yang baik bagi anak-anak kita? Ketika banyak pihak yang tidak setuju dengan hukuman yang bersifat fisik, orang tua dan para guru lebih memilih hukuman yang mereka nilai lebih mendidik, seperti menghafal dan membaca al-Quran.
Sekilas memang hukuman ini terlihat baik. Tapi tidakkah kita menyadari bahwa ketika si anak menjalankan hukuman itu apakah ia menjalankannya dengan hati yang senang atau hati yang terpaksa dan tertekan? Tentu hati yang terpaksa dan tertekan.
Jika demikian, hukuman yang berbentuk ibadah ini justeru akan membuatnya membenci ibadah dalam hidupnya. Sebenarnya ia tidak membenci ibadah itu sendiri. Tapi karena ia melakukan ibadah itu dalam kondisi jiwa dan perasaan yang tidak bahagia maka ibadah itu pun otomatis tidak ia sukai.
Ini mirip ketika kita dihidangkan orang makanan yang sangat kita sukai. Tapi ia menghidangkan makanan itu dengan cara yang tidak baik. Bahkan sebelum kita makan, ia masih sempat berkata dengan nada kesal: โSungkahanlahโฆโ Apakah kita mau memakan makanan itu? Meskipun makanan itu adalah makanan favorit kita?
Manusia dan Segala Dinamikanya
Manusia makhluk yang unik. Dirinya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Ketika ia senang maka yang senang bukan hanya fisiknya tapi juga perasaannya. Karena itu, satu kondisi yang menurut kita sangat membahagiakan boleh jadi bagi orang lain sangat menyedihkan.
Ketika kita jalan-jalan di sebuah taman yang asri, di suatu sore, angin mengalir sepoi-sepoi, matahari senja terlihat begitu indah. Tentu kita sangat menikmati hal itu. Tapi teman kita yang ikut jalan-jalan bersama kita justeru meneteskan air mata. Kita heran. Kenapa ia justeru menangis di suasana yang sangat membahagiakan itu?
Ternyata setahun yang lalu, di sore hari yang mirip dengan sore itu, dimana anginnya sepoi-sepoi, cahaya mataharinya begitu indah, orang yang ia cintai meninggal dunia. Maka sore hari itu mengingatkan ia pada sore setahun yang lalu ketika orang yang dikasihinya meninggalkannya untuk selamanya.
Jadi, memberikan hukuman yang bersifat ibadah justeru akan berdampak negatif pada sikap anak melihat dan memandang ibadah itu sendiri.
Kedua, ketika ada orang yang melakukan sebuah ibadah dengan hati terpaksa dan tertekan, bukan dengan ketulusan dan kemauan sendiri, apakah ia mungkin mendapatkan pahala? Jawaban yang diberikan guru dalam postingan tadi sebenarnya mencerminkan cara pandang kita terhadap ibadah.
Bahwa yang penting dalam ibadah itu adalah apa yang tampak, bukan keadaan hati orang yang sedang melakukannya. Sehingga wajar kalau banyak orang yang kagum mendengar suara merdu dan irama yang indah dalam membaca al-Quran. Setelah itu kita tidak lagi peduli apakah bacaan itu keluar dari hati yang bersih dan ikhlas atau tidak.
Barangkali ini pula diantara penyebab kita mudah kagum dengan penampilan luar daripada sifat dan kepribadian seseorang.
Beragama yang Hakiki
Beragama yang hakiki itu ibarat orang yang minum obat. Ketika ada orang sakit kepala, lalu ia minum obat yang manjur dan mujarrab untuk menyembuhkan sakit kepalanya. Ketika ia minum obat itu insya Allah ia akan sembuh, meskipun ia tidak mengerti obat itu dibuat dari bahan apa, dari negara mana, dan seterusnya. Dengan ia meminum saja ia akan sembuh.
Oleh karena itu boleh jadi orang biasa yang tidak tamat SD jauh lebih paham agama dari seorang profesor, karena yang menjadi standar bukan gelar tapi efek dan dampak agama terhadap dirinya.
Ibadah yang diwajibkan untuk kita kerjakan sesungguhnya bukanlah target akhir. Ia adalah sarana dan media untuk menjadikan seseorang โsampaiโ kepada Allah Swt.
ูุงุนุชุจุฑูุง ูุง ุฃููู ุงูุฃูุจุงุจ ูุนููู ุชููุญูู