Menu

Mode Gelap
Headline

Kajian Islam · 9 Sep 2022 08:17 WIB ·

Khutbah Jumat: Adab Dalam Menegur


 seri Kutbah Jumat medikita.com Perbesar

seri Kutbah Jumat medikita.com

Yendri Junaidi, Lc., MA

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، فَاسْمَعُوْا قَوْلَ اللهِ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) سورة الأعراف

“Jadilah pemaaf dan ajaklah orang mengerjakan yang ma’ruf, dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. Dan jika setan datang menggodamu maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Kaum muslimin sidang jamaah Jumat yang berbahagia…

Hampir setiap suku dan masyarakat memiliki warisan yang dibanggakannya. Warisan tersebut ada yang bersifat benda-benda bersejarah dan ada yang bersifat ajaran-ajaran. Tak terkecuali Minangkabau.

Banyak warisan yang sampai saat ini kita banggakan dan wariskan turun temurun, diantaranya adalah pepatah petitih dan kata-kata bijak yang menjadi jiwa dan karakter orang Minang.

Tapi terkadang, ada beberapa pepatah itu yang disalah artikan atau disalah gunakan. Diantaranya adalah pepatah: “Syara’ batilanjang adaik basisampiang”.

Barangkali maksud dari pepatah ini bagus dan mulia, bahwa syara’ atau agama bisa diberikan pada semua orang tanpa mengenal batas usia dan jenis kelamin. Sementara adaik (adat) mesti memperhatikan apa yang disebut dengan biliak gadang dan biliak ketek.

Tapi ada orang yang memahami atau menggunakan pepatah ini secara keliru atau menjadikannya sebagai dalih untuk perbuatannya yang salah. Ketika ia menegur orang yang bersalah dalam pandangan agama ia tegur secara vulgar dan keras dengan dalih: “Syarak batilanjang. Syarak mesti disampaikan secara transparan dan to the point. Syarak berbeda dengan adaik yang mengenal kato mandaki, mandata, manurun dan malereang.” Lalu ia pun menegur atau menasehati orang dengan bahasa yang tidak enak didengar dan menimbulkan ketidaknyamanan.

Dampaknya ada orang yang mulai beranggapan bahwa agama itu memang harus keras, harus buka-bukaan dan tidak mengenal ereang jo gendeang. Pada akhirnya ada yang menilai adat lebih beretika dan tahu sopan santun daripada agama.

Benarkah agama itu mesti disampaikan secara keras? Tak peduli orang tersinggung atau tidak. Tak peduli orang senang atau marah?

Pertama kita mesti memberi alas bahwa agama memang harus transparan, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Tidak ada dalam agama dominasi ulama. Seluruh umat berhak mengetahui apa saja tentang agama selama ia layak dan punya kapasitas.

Kalaupun ada sebagian ulama yang tidak mengkaji beberapa masalah secara terbuka pada umat, itu bukan karena ulama punya dominasi khusus, tapi karena masyarakat yang mungkin belum siap untuk itu. Sama dengan larangan pendidikan seks untuk anak-anak. Bukan karena mereka tak boleh tahu, hanya saja mereka belum layak tahu.

Tapi kalau dikatakan bahwa agama boleh disampaikan secara kasar dan keras meskipun orang lain tersinggung, ini yang salah. Tentu dalam konteks kalau tersinggungnya karena bahasa yang digunakan. Kalau ada orang yang tersinggung ketika seorang penceramah menyampaikan besarnya dosa riba karena ia sering berinteraksi dengan riba, berarti ia yang salah.

Suatu ketika ada seorang ahli agama datang menemui Khalifah Harun ar-Rasyid. Ia berkata: “Wahai Khalifah, saya akan memberi Anda nasehat. Tapi saya akan menyampaikannya secara keras dan apa adanya. Maka Anda jangan marah kalau nanti bahasa yang saya pakai keras dan menyinggung.”

Apa jawab Harun ar-Rasyid: “Jika demikian saya tidak perlu mendengar nasehat Anda.”

Kenapa?

“Saya tidak lebih buruk dari Fir’aun, dan Anda juga pasti tidak lebih baik dari Nabi Musa. Ketika memerintahkan Musa untuk mengajak dan berdakwah kepada Fir’aun, Allah berpesan kepada Musa dan Harun: “Waqula lahu qaulan layyina…” Katakanlah padanya perkataan yang lembut.

Sekarang kita lihat bagaimana Rasulullah Saw menegur orang yang bersalah. Apakah beliau buka-bukaan dan menyampaikannya secara langsung pada yang bersalah agar ia malu dan kehilangan harga diri? Tidak.

Jika kita kaji hadits-hadits Rasulullah Saw dan sirahnya, kita akan temukan bahwa dalam menegur kesalahan para sahabatnya, Rasulullah Saw pantang menyebut nama dan mengarahkannya secara langsung. Beliau selalu menyamarkan pihak yang bersalah untuk menjaga harga dirinya. Lafaz yang sering dipakainya adalah: Ma balu aqwamin… (kenapa ada orang yang begini dan begini…).

Contohnya, suatu ketika Nabi melihat ada bekas ludah di masjid. Nabi tidak mencari tahu siapa yang melakukannya. Beliau hanya berkomentar:

مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ، تَحْتَ قَدَمِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا» وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْض

“Kenapa diantaramu ada yang menghadap Tuhannya lalu meludah? Apakah kamu suka kalau ada orang yang menghadapmu lalu ia meludah? Kalau kalian akan meludah maka buang ke arah kiri atau ke bawah kakinya. Kalau tidak bisa maka lakukan seperti ini.” al-Qasim sebagai perawi menjelaskan dengan cara meludah ke ujung bajunya lalu dilipat.

Suatu ketika datang seorang wanita bertanya pada Rasulullah saw tentang haid. Nabi menjelaskan dengan bahasa yang berkias. Tapi wanita ini tidak juga mengerti. Akhirnya Aisyah menarik tangan wanita tadi dan menjelaskan padanya tentang haid secara lebih detail.

Begitulah pemalunya Nabi. Sampai dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ»

Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata: “Nabi Saw itu lebih pemalu dari gadis yang dipingit. Kalau ia tidak suka sesuatu kami akan tahu dari wajahnya.”

Jadi kalau Nabi tidak suka sesuatu, Nabi jarang mengungkapkannya. Ketidaksukaan itu tampak oleh para sahabat dari wajah Nabi saja.

Bahkan untuk sahabat yang jelas-jelas bersalah pun Nabi masih berusaha menjaga harga dirinya. Ada seorang sahabat yang dijuluki al Himar. Ia suka mabuk. Sudah sering ia dicambuk karena perbuatan minum khamarnya. Sampai suatu ketika ia kembali dikadukan pada Nabi karena telah minum khamar. Para sahabat mulai jenuh dan kesal dengan kelakuannya. Sehingga ada yang berkomentar: “Ya Alah, kutuklah ia… Sudah sering sekali ia dicambuk tapi tak juga jera.”

Mendengar ini Nabi bersabda: “Tapi yang saya tahu ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Kita perlu merubah cara pandang kita terhadap orang yang bersalah. Kita mesti bedakan antara pelaku dan perbuatan. Kita mesti tampakkan rasa tak suka pada perbuatannya, tapi di saat yang sama kita kasihan pada pelakunya. Perbuatannya kita tegur tapi harga diri pelakunya kita jaga.

فاعتبروا يا أولى الألباب لعلكم تفلحون

Artikel ini telah dibaca 281 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Ibadah Puasa (2)

5 April 2023 - 11:46 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Puasa Ramadan (1)

4 April 2023 - 14:18 WIB

Khutbah Jumat: Adil Dalam Menilai

17 Februari 2023 - 07:58 WIB

Khutbah Jumat: Iman Adalah Pengalaman

10 Februari 2023 - 07:50 WIB

Khutbah Jumat: Al-Quran, Sudahkah Kita Pahami?

3 Februari 2023 - 07:00 WIB

Khutbah Jumat: Memahami Hakikat Beragama

11 November 2022 - 10:10 WIB

Trending di Kajian Islam