Menu

Mode Gelap
Headline

Opini & Tokoh · 26 Apr 2025 08:38 WIB ·

Ketika Negara Menjual Pendidikan, Anak Cerdas Memilih Kabur


 Dr. Syamsul Bahri, ST.MM Perbesar

Dr. Syamsul Bahri, ST.MM

Oleh:
Dr. Syamsul Bahri, ST.MM

April adalah bulan harapan bagi ribuan siswa Indonesia. Mereka yang baru lulus SMA bersaing lewat Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) demi satu kursi di perguruan tinggi negeri. Namun harapan itu kerap kandas bukan karena kegagalan akademik, melainkan karena kalah secara ekonomi. Fenomena tahun ini memperlihatkan realitas yang mencemaskan.

Banyak siswa dari keluarga sederhana yang lolos seleksi PTN namun akhirnya mundur karena tak sanggup membayar UKT yang melambung. Media sosial dipenuhi curahan hati para orang tua dan calon mahasiswa. “Anak saya diterima, tapi kami terpaksa menyerah karena biaya kuliah,” tulis seorang ibu dari Sumatera Barat.

Realitas ini tak bisa dilepaskan dari status kampus sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), yang memberi otonomi kelola dana bagi kampus—namun juga menyisakan beban besar pada mahasiswa. Di tengah semangat “kemandirian” itu, kita justru patut bertanya: di manakah peran negara?

PTNBH: Jalan Menuju Pasar, Bukan Keadilan

Dalam struktur PTNBH, kampus memiliki keleluasaan mengelola sumber daya. Namun kenyataannya, kebijakan ini sering diterjemahkan dalam logika pasar: mahasiswa sebagai konsumen, kampus sebagai penyedia jasa. Maka lahirlah biaya kuliah yang tidak lagi proporsional dengan kemampuan keluarga mahasiswa.

Kampus boleh saja mencari dana dari kerja sama industri atau unit usaha, tapi ketika sumber utama tetap ditarik dari mahasiswa, maka yang terjadi bukan “kemandirian”, melainkan “pemindahan beban”. Kondisi ini semakin diperburuk dengan minimnya kualitas sebagian pengelola kampus PTNBH untuk dapat mengelola dan mengembangkan unit bisnis yang mampu memberikan sumber pemasukan bagi kampus, sehingga menaikkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) selalu menjadi pilihan. Pastinya menambah beban mahasiswa yang sudah dihadapkan dengan tingginya biaya hidup.

Negara Berkembang, Tapi Lebih Beradab?

Sangat ironis jika kita bandingkan dengan negara-negara lain yang secara ekonomi tidak jauh berbeda dengan Indonesia—bahkan beberapa berada di bawah. Ambil contoh Mesir, Maroko, dan Tunisia, tiga negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka punya kesamaan penting: pendidikan tinggi di sana diberikan secara gratis atau hampir tanpa biaya untuk warga negara.

Di Mesir, mahasiswa tidak dipungut biaya kuliah di universitas negeri seperti Universitas Kairo atau Al-Azhar. Negara memikul tanggung jawab penuh atas pendidikan sebagai bagian dari pelayanan publik. Maroko dan Tunisia juga memberikan pembebasan biaya kuliah, termasuk asrama dan subsidi makan. Pemerintah mereka sadar bahwa pendidikan adalah tangga mobilitas sosial, bukan komoditas. Jika negara-negara tersebut—dengan segala keterbatasan ekonomi—bisa menjamin kuliah gratis, mengapa Indonesia justru menyerahkan biaya pendidikan tinggi kepada “kemampuan pasar”?

“Kabur Aja Dulu”: Sindiran yang Jadi Solusi

Belakangan ini viral slogan di media sosial: “Kabur Aja Dulu.” Sebuah sindiran jenaka sekaligus tragis dari anak-anak muda Indonesia yang memutuskan melanjutkan pendidikan ke luar negeri bukan karena ingin meninggalkan tanah air, tapi karena di luar negeri, pendidikan justru lebih terjangkau.

Anak-anak cerdas Indonesia kini lebih tertarik ke Mesir, Maroko, Turki, hingga Eropa Timur—karena mereka tahu: di sana, biaya kuliah murah, bahkan gratis, dan kehidupan akademik lebih inklusif. Ini bukan fenomena diaspora akademik yang membanggakan—melainkan bentuk ekodus diam-diam karena frustrasi. Tagline itu seharusnya jadi cermin: mereka tak benar-benar ingin kabur—mereka hanya ingin diakui dan diberi peluang oleh negaranya sendiri. Ketika negara menjual pendidikan, anak cerdas memilih kabur.

Konstitusi Tak Pernah Menyebut “Mandiri Secara Finansial”

Konstitusi kita jelas: pendidikan adalah hak, bukan barang dagangan. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat. Pembukaan UUD 1945 bahkan lebih luhur: mencerdaskan kehidupan bangsa adalah misi utama republik ini. Maka pertanyaannya: ketika mahasiswa yang sudah diterima harus mundur karena biaya, apakah negara masih setia pada konstitusinya?

Evaluasi Bukan Tabu, Tapi Keberanian Politik
Kita tak sedang menolak perubahan atau otonomi kampus. Tapi kita menolak jika perubahan itu justru menyisihkan mereka yang paling membutuhkan pendidikan. PTNBH harus dievaluasi bukan untuk dibubarkan, tapi untuk diarahkan ulang agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.

Anak-anak bangsa sudah berhasil lolos secara akademik. Tapi justru negaralah yang mundur secara moral. Mungkin sudah waktunya pengelola negara melakukan ‘tobat moral’, kembali kepada tujuan luhur kemerdekaan bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tentang Penulis:
Dr. Syamsul Bahri, ST.MM adalah akademisi, peneliti dibidang ekonomi, pendidikan dan fenomena sosial. Saat ini aktif menulis opini sosial, ekonomi dan pendidikan. Ia percaya bahwa keadilan pendidikan adalah pintu awal kemajuan bangsa.
Artikel ini telah dibaca 184 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Refleksi Komunikasi: Ketika Mesin Lebih Responsif dari Manusia

12 Mei 2025 - 07:30 WIB

Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Ketika Komunikasi Menjadi Jembatan Karakter

2 Mei 2025 - 10:58 WIB

APE Ramah Lingkungan, Bentuk Kreativitas dari Limbah Konveksi untuk PAUD di Aceh Tengah

30 Agustus 2024 - 23:51 WIB

Belajar dari Hamzah Haz

24 Juli 2024 - 12:37 WIB

Menyoal Politisasi BUMD

6 Juli 2024 - 22:07 WIB

Melawan Diskriminasi, Mengukir Masa Depan Jurnalis Kompeten

4 September 2023 - 16:00 WIB

Trending di Opini & Tokoh