Wizri Yasir
Wakil Ketua GP Ansor Lima Puluh Kota
Menarik untuk mengikuti perjalanan (kalau boleh saya sebut drama) perpolitikan tanah air. Topik baru yang muncul dan menjadi perbincangan hangat serta viral adalah sistem pemilihan dengan proporsional tertutup (mencoblos partai). Dengan sistem tersebut, pemilih kembali pada jaman sebelum reformasi yaitu memilih partai saja. Kemudian partailah yang memutuskan siapa calon legislatif yang akan duduk di kursi dewan nanti.
Pembahasan tersebut semakin hangat ketika sekelompok Advokat mengadukan Ketua KPU, Hasyim Asy’ari ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena pernyataannya. Ketua KPU pada suatu kesempatan mengatakan “ada kemungkinan sistem pemilihan pada Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup”.
Pernyataan Hasyim tersebut berdasarkan situasi dimana sedang berlangsung gugatan oleh kader PDIP dan Nasdem ke MK soal pemilihan dengan sistem proporsional terbuka. PDIP menginginkan pemilihan kembali hanya mencoblos partai. Dan wacana inipun sebenarnya sudah muncul pada bulan Februari 2022 yang lalu.
Sebelum membahas kenapa PDIP “ngotot” kembali ke sistem tertutup, kita bahas terlebih dahulu pendapat sebagian besar kader dan pengurus partai.
Pengurus Partai Ingin Tampil Dominan
Pada kenyataannya, kader dan pengurus sebagian besar partai apapun, menginginkan pemilihan dengan sistem tertutup. Salah satu alasan para pengurus dan kader partai tersebut terbilang sangat meyakinkan. Mereka adalah pejuang dalam membesarkan dan mempopulerkan partai ditengah masyarakat.
Mereka tidak ingin para pengurus dan kader yang sudah berjuang dan “berdarah-darah” di akar rumput untuk membesarkan dan mengelola partai tersingkir karena “pendatang” yang mempunyai kapital kuat. Sehingga pengorbanan dan perjuangan membesarkan partai seolah tidak berarti. Karena anggota legislatif yang terpilih adalah orang-orang “pendatang” dengan modal yang kuat.
Pada satu sisi, sah-sah saja sebenarnya hal tersebut. Karena dalam undang-undang partai politik, semua orang bebas memilih partai sebagai kendaraannya. Dan bebas untuk pindah-pindah ke partai yang mereka anggap cocok dengan perjuangan dan gerakan mereka.
Pro kontra antara sesama kader partaipun mungkin saja terjadi. Sebagian kader tidak mempermasalahkan pendatang dengan permodalan yang kuat. Karena bagi mereka jalinan yang sudah terbangun di akar rumput tidak akan bergeser jauh saat pemilihan. Walaupun dengan iming-iming finansial yang kuat.
PDIP Ngotot Sistem Proporsional Tertutup
Kegaduhan soal sistem proporsional terbuka atau tertutup bertambah ketika semua kalangan elit sudah mengambil tindakan. Baru-baru ini, kecuali PDIP, 8 partai yang notabene 6 partai adalah koalisi PDIP di Pemerintahan menolak sistem tersebut.
Mereka (Golkar, Nasdem, Gerindra, PKB, PAN, PPP, PKS dan Demokrat) mengatakan bahwa menggunakan sistem proporsional tertutup adalah kemunduran dan bukan solusi untuk Pemilu dan sistem demokrasi yang baik.
Para pengamat ikut memberikan alasan kenapa PDIP cenderung ngotot. Alasannya adalah PDIP akan semakin percaya diri dengan sistem tertutup dan partai lain akan mengalami penurunan. Karena kita ketahui dan itu adalah kenyataan, bahwa daya tarik PDIP itu adalah pada partainya sendiri, bukan siapa kadernya.
Ketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri berhasil membangun daya tarik masyarakat tersebut. Sehingga banyak masyarakat memilih partai ketimbang siapa-siapa tokoh partai itu sendiri.
Keberhasilan PDIP membangun daya tarik tersebut tak terlepas dari peran Megawati. Bahkan bagi sebagian masyarakat dan loyalis PDIP, Megawati adalah PDIP dan PDIP adalah Megawati.
Pembersihan Partai
Pengamat juga menilai bahwa PDIP ingin sistem proporsional tertutup karena mau membersihkan partai. Membersihkan dengan jalan mengurangi bahkan menyingkirkan kader-kader yang bersikap oportunis.
Selama ini kita tahu bahwa kader-kader yang bersikap oportunis menurut partai, sering membuat gesekan di akar rumput. Mereka tidak patuh kepada perintah ketua umum dan membuat kegaduhan-kegaduhan. Sehingga agenda yang seharusnya berjalan baik sedikit terganggu.
Dengan sistem tertutup, pemilihan kader yang akan menduduki kursi dewan sepenuhnya berada di tangan ketua umum. Sehingga kader-kader sedikit “pembangkang” tidak akan bisa berbuat banyak, kecuali tunduk dan patuh kepada perintah ketua umum.
Pada sisi lain, kengototan PDIP ini juga berkaitan dengan suksesi kepemimpinan partai mereka sendiri. Jika nanti setelah Megawati tidak lagi memimpin, dan kewenangan mutlak pada ketua umum, maka siapapun yang “ditunjuk” Megawati untuk menggantikannya, semua kader akan tunduk dan patuh.
Dengan demikian agenda-agenda partai akan tetap berjalan sebagaimana yang sudah ditetapkan dibawah komando ketua umum.
Mirip PDIP
Satu-satunya partai yang mirip dengan PDIP karena lebih memiliki daya tarik partai ketimbang kader adalah PKS. Partai ini terkenal solid sampai akar rumput. Para kader dan simpatisan akan mengikuti garis perintah partai terkait seluruh kebijakan.
Tidak ada gejolak yang berarti meskipun anggota dewan, pengurus partai yang terpilih bukanlah jagoan para kader. Mereka mementingkan keutuhan dan kesolidan partai ketimbang berpihak kepada salah satu tokoh atau kader partai.
Namun saat ini kesolidan dan kepopuleran PKS sedikit terganggu karena adanya Partai Gelora yang sama-sama kita ketahui adalah besutan dari tokoh dan kader PKS sebelumnya.