Oleh :
Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Ketua Dewan Pertimbangan MUI SUMBAR
Anggota MUI Pusat
Pada Tanggal 17 Agustus kemarin masyarakat Indonesia telah merayakan hari kemerdekaan yang ke-77. Perayaan yang begitu meriah telah di dilaksanakan di berbagai pelosok negeri ini.
Ada yang mengadakan kirab bendera merah putih sepanjang 2.500 Km, pecah rekor dunia, di Muaro Bungo Kabupaten Bungo, Prov. Jambi pada tanggal 14 Agustus 2022 yang lalu.
Tak terasa sudah 77 tahun lama nya Indonesia terbebas dari penjajahan fisik negeri Belanda dan Jepang. Namun sudahkah Indonesia meraih kemerdekaan yang hakiki?
Memang secara fisik Indonesia telah merdeka. Tidak ada lagi perang angkat senjata. Namun jika di cermati kembali, apakah sungguh rakyat ini telah merdeka?
Indonesia, negeri yang mempunyai sumber daya alam melimpah ruah, terletak di garis khatulistiwa, tanah yang subur makmur.
Namun kemiskinan masih meliliti rakyatnya. Banyak anak negeri yang tak bisa mengenyam pendidikan, mahal nya biaya kesehatan, biaya hidup, kebijakan import yang merugikan rakyat.
Belum lagi negeri kita yang terus terlilit utang yang secara tidak langsung hutang adalah salah satu bentuk penjajahan ekonomi. Itulah beberapa problem pelik yang di hadapi negeri ini.
Walaupun Pemerintah sudah mengadakan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) bagi yang kurang mampu, tetapi belum bisa mencapai secara optimal.
Jika melihat realita seperti ini, pertanyaannya, kemana dan untuk siapa kekayaan negri ini di persembahkan? Bukankah kekayaan alam negri ini seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi rakyat nya ?
Bak ayam mati di lumbung padi, Indonesia masih mengalami penjajahan non fisik. Dimana sumber daya alam yang melimpah ruah hanya dinikmati segelintir orang saja, sungguh ironi.
Belum lagi penjajahan dalam bentuk pemikiran. Hal ini lebih berbahaya dari pada penjajahan fisik. Penjajahan pemikiran yang kebanyakan tersebar lewat media informasi, entah lewat media massa maupun media sosial.
Melalui media, generasi banyak di rusak dengan tontonan-tontonan yang tidak mendidik. Lebih dari itu, banyak ide atau gagasan berupa paham sekuler dan liberal dan caci maki yang merusak moral generasi dan masyarakat.
Di sinilah pentingnya kita memahami makna kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan bukan hanya menyangkut hal fisik semata, melainkan lebih dari itu.
Menurut kacamata Islam merdeka adalah terbebas dari segala bentuk penghambaan terhadap mahluk, menuju penghambaan totalitas hanya kepada allah SWT.
Sebagaimana Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah. Juga memberantas kezaliman dan menegakkan keadilan berlandaskan wahyu Allah.
Maka tak ada jalan lain untuk meraih kemerdekaan yang hakiki kecuali kembali kepada Agama. Mengambil islam sebagai jalan hidup dan solusi atas berbagai problem yang di hadapi umat.
Merdeka adalah lawan dari perbudakan. Tentu kita semua ingin merdeka dan merasa bebas, nyaman dan bahagia dalam menjalani hidup.
Kita juga tidak ingin terkekang, terbatasi, dan tidak bebas dalam menjalani kehidupan atau ada sesuatu yang memperbudak kita.
Bagi seorang muslim, kemerdekaan dan kebahagiaan sejati adalah menjadi hamba Allah sepenuhnya dan merasa bahagia dengan menunaikan hak Allah dalam tauhid.
Merasa bahagia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Merasa bahagia berakhlak mulia, membantu sesama, serta memudahkan urusan orang lain.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan mengenai hal ini. Beliau berkata;
العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره
“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, Barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya”. (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306).
Menjadi budak dunia dan budak hawa nafsu itu belumlah merdeka. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa manusia bisa menjadi budak dunia dan budak harta. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﻳْﻨَﺎﺭِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢِ، ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﺼَﺔِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻲَ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﺳَﺨِﻂَ
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi, dia senang. Tetapi jika tidak diberi, dia marah.” (HR. Bukhari).
Bagaimana dunia dan harta memperbudak manusia? Yaitu dengan mendorong manusia menjadi tamak dan tidak pernah puas.
Kita pun melakukan semua perintah harta dan dunia tersebut. Seolah-olah harta dan dunia memperbudak kita dan kita ikuti semua perintahnya.
Adanya ketamakan atas dunia karena kita juga diperbudak oleh hawa nafsu kita. Hawa nafsu inilah yang banyak menjadikan manusia tersesat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
“Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: (1) kebakhilan dan kerakusan yang ditaati; (2) hawa nafsu yang diikuti; dan (3) seseorang yang membanggakan diri sendiri. Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah: (1) takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak; (2) sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan; dan (3) (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan rida” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1802).
Hawa nafsu juga banyak menyesatkan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-An’am: 119).
Hawa nafsu yang tidak terkendali akan membawa kita ke arah keburukan yang terus menerus.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yusuf,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).
Apabila masih diperbudak harta dan dunia, kita belum merdeka sepenuhnya.
Masih banyak manusia yang terjebak dalam hal ini. Alih-alih menghamba kepada Allah, malah menghamba kepada hawa nafsu dan setan.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam kitab Nuniyyah,
هَربوا من الرق الذي خُلقوا له فبُلُوا برِقِّ النفس والشيطان
“Mereka lari dari penghambaan (menjadi budak Allah) di mana mereka diciptakan untuk itu, lalu mereka dihukum dengan penghambaan kepada hawa nafsu dan setan.” (At-Ta’liqaat Al-Fatawa Al-Hamawiyah Syaikh Al-Fauzan hal. 59).
Dengan menjadi hamba Allah yang sejati yang menunaikan hak Allah itulah kemerdekaan yang mengantarkan kepada kebahagiaan.
Karena hakikat kehidupan adalah beribadah kepada Allah semata dan melaksanakan perintah-Nya. Allah SWT berfirman
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Menjadi hamba Allah, mentauhidkan Allah, serta menjalankan perintah-Nya adalah sumber kebahagiaan.
Hal ini dibahas dalam kitab tauhid agar kita benar-benar menghambakan diri kepada Allah.
Syekh Muhammad At-Tamimi menjelaskan tanda hamba yang bertauhid. Beliau berkataBeliau rahimahullah berkata,
إذا أعطى شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذ أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة
“(1) jika diberi kenikmatan, dia bersyukur; (2) jika diuji dengan ditimpa musibah, dia bersabar; (3) dan jika melakukan dosa, dia beristighfar (bertaubat). Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan” (Matan Al-Qawa’idul Arba’)
Semoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada-Nya dan tidak menjadi budak dunia dan hawa nafsu. Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam kitab Nuniyyah,
وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّــهِ مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُمَـ قُـطْبَـانِ
وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُـطْبَـانِ وَمَدَارُهُ بِالْأَمْرِ أَمْرِ رَسُوْلِـهِ لَا بِالْهَوَى وَالنَّفْسِ وَالشَّيْطَان
“Ibadah kepada Allah adalah puncak cinta kepada-Nya …
Disertai ketundukan hati orang yang beribadah kepada-Nya, keduanya adalah poros ibadah..
Di atas kedua poros tersebutlah garis ibadah berputar …
Dia tidak akan berputar sampai dua poros tersebut tegak …
Dengan melaksanakan agama yang merupakan perintah Rasul-Nya …
Bukan mengikuti hawa nafsu, dorongan hati, dan mengikuti setan … ” (Syarh Qasidah Ibnil Qayyim, 1: 253).
Dirgahayu Indonesia Merdeka yang Hakiki.