Menu

Mode Gelap
Headline

Kajian Islam · 30 Jul 2022 08:53 WIB ·

Hijrah Dan Meneguhkan Kembali Politik Kebangsaan Menuju Semangat Persatuan


 Hijrah Dan Meneguhkan Kembali Politik Kebangsaan Menuju Semangat Persatuan Perbesar

Oleh : Bima Putra (Ketua DPD IMM Sumbar Bidang Riset Pengembangan Keilmuan Periode 2021-2023/Mahasiswa PAI STIT SB Pariaman)

Tahun Baru Hijriah kembali akan kita peringati pada 1 Muharram 1444 H . Hijrah secara harfiah berarti pindah. Hijrah menjadi populer karena dipilih sebagai penanggalan dalam dunia Islam. Asal-usul hijrah diambil dari momentum perpindahan Nabi dari Mekah ke Yatsrib lalu diubah menjadi Madinah. Dipilihnya peristiwa hijrah sebagai momentum penanggalan Islam karena beberapa pertimbangan, antara lain: dalam Alquran sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru), masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah ke Madinah, dan umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya.

 

Penetapan Tahun Baru Hijriah ini ditetapkan langsung oleh keluarnya keputusan Khalifah Umar yang ditandai dengan keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada tahun ke-17 H (638 M), tanggal 1 Muharram 1 Hijriah bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Makna hijrah Nabi tidak identik dengan perjalanan ‘eksodus’ yang mengisyaratkan kekalahan dan kepasrahan. Hijrah dalam Islam tidak semata-mata berkonotasi mobilitas dan transformasi fisik dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijrah juga bisa berkonotasi nonfisik, yaitu bertransformasi dari keadaan buruk ke keadaan yang lebih baik, atau dari zona tidak aman dan tidak nyaman ke zona yang lebih aman dan nyaman. Spirit dan semangat hijrah Nabi sesungguhnya lebih tepat diartikan dalam pengertian terakhir. Hal ini bisa difahami dari hadis Nabi melalui riwayat Saleh ibn Basyir ibn Fudai’ yang menceritakan suatu ketika Fudai’ mendatangi Nabi dan mengatakan, “Ya Rasulallah, mereka mengira bahwa mereka yang tidak hijrah akan celaka.”

 

Nabi menjawab, “Wahai Fudai’, dirikanlah salat, keluarkanlah zakat, jauhi kejahatan, dan tinggallah bersama kaummu sesuka hatimu. Dengan cara demikian sesungguhnya Anda telah berhijrah.” Semangat hijrah sesungguhnya ialah penciptaan kondisi yang lebih kondusif untuk menjalankan fungsi dan kapasitas kita sebagai hamba dan khalifah di bumi. Jika di dalam suatu tempat tidak bisa atau sulit mewujudkan kedua fungsi dan peran yang diamanahkan Tuhan itu, di situ ada tantangan untuk hijrah. Akan tetapi, jika tantangan itu tidak muncul, tidak ada keharusan untuk hijrah. Hijrahnya Nabi dan sekelompok sahabatnya ke Madinah bukan berarti pengecut, pergi ke Madinah meninggalkan umatnya di Mekah untuk mencari selamat. Hijrah bisa dimaknai mundur selangkah untuk mencapai kemenangan. Kenyataannya, di Madina Nabi berhasil membangun konsolidasi umat yang pada saatnya kembali merebut Kota Mekah dengan sangat mencengangkan. Bagaimana mungkin revolusi besar terjadi tanpa setetes darah, itulah Fathu Makkah. Penanggalan Islam dipilih konteks hijrah Nabi, bukan milad yang sekaligus tahun kematian Nabi, bukan pula momentum turunnnya Alquran yang sekaligus pelantikannya sebagai Nabi dan Rasul. Ini membawa hikmah lebih besar bahwa konsep dan spirit hijrah sarat berisi pesan kemanusiaan. Bila di suatu tempat kemerdekaan beriman dan berekspresi sulit berkembang, dimungkinkan untuk hijrah.

 

Namun, tidak mesti harus hijrah fisik, tetapi bisa tetap di tempat fisik, namun suasana batin dan jalan pikiran yang harus berubah. Bagaimana mentransformasikan diri dari suatu kondisi yang tidak kondusif mengembangkan ekspresi keberimanan kita lalu hijrah ke kondisi lain yang lebih kondusif untuk hal tersebut. Dengan demikian, hijrah harus dianggap sebagai sesuatu yang berlangsung terus-menerus untuk sampai ke tarah yang lebih ideal sebagai hamba dan sebagai khalifah. Allahu a’lam.

 

Mengapa Khalifah Umar bin al-Khattab menetapkan kalender Islam (kalender Hijriah) berdasarkan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW, bukan berdasar kelahiran, kematian, atau pengangkatan beliau sebagai rasul ketika menerima wahyu pertama di Gua Hira Jabal Nur? Nilai historis dan strategis apa yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi SAW, yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan?

 

Fakta sejarah menunjukkan hijrah Nabi SAW dan para sahabat bukan kebetulan, melainkan merupakan gerakan strategis profetik bervisi dan berorientasi kemanusiaan. Hijrah Nabi juga tidak sekadar perjalanan migratif dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi juga agenda transformasi sosial politik menuju politik kebangsaan. Politik kebangsaan semakin dinamis menuju 2024 dan resesi yang tengah melanda dunia saat ini, mengharuskan kita untuk senantiasa waspada, cermat, dan tidak salah langkah. Kita tidak boleh gegabah dalam mengambil sikap dan keputusan. Dan kiranya, politik kebangsaan adalah pilar yang bisa menjadi pegangan kita bersama. Politik Kebangsaan, adalah garis politik yang mestinya bisa menjadi komitmen semua partai politik. Semua pihak mesti menyadari, bahwa kompetisi dalam pemilu adalah keniscayaan dan akan berulang setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, lebih penting dari hal tersebut adalah menjaga keberlangsungan dan eksistensi negara-bangsa ini. Di atas politik kontestasi ada politik kebangsaan: politik yang mengarusutamakan kepentingan bangsa, di atas kepentingan kami sebagai kelompok politik. Dunia tengah berubah dan akan terus berubah. Konstelasi geopolitik dunia menyampaikan kepada kita bagaimana ia terus berubah. Amanat menciptakan perdamaian dunia, telah digaungkan berpuluh tahun ke belakang.

 

Namun, sebagaimana kita saksikan dewasa ini, di beberapa tempat ia masih menjadi aspirasi dan impian belaka. Konflik dan peperangan masih terjadi. Tak jarang, eksesnya menyeret kita untuk terlibat dalam pusarannya. Terkadang, ia menjadi kesempatan bagi kita untuk turut serta dalam promosi perdamaian, seperti dalam kasus Rusia-Ukraina. Namun, tak jarang, ancaman menyusup ke dalam mengiringi konflik yang terjadi di luar sana, sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus terorisme pada beberapa waktu yang lalu. Kenyataan ini menunjukkan, bagaimana ancaman, baik dari dalam maupun dari luar, selalu potensial terjadi. Kita pun kini berada dalam persimpangan sejarah. Peta kekuatan dunia tengah bergeser. Indonesia, diakui atau tidak, akan menjadi bagian tak terpisahkan dari pergeseran itu. Sebagai negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, pastilah keberadaannya menjadi perhitungan dunia. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut berulang kali.

 

Oleh karena itu, ke depan, kita membutuhkan pemimpin nasional yang mampu menjaga stabilitas politik, dan kemampuan untuk bangkit pascapandemi ini. Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian untuk melakukan berbagai terobosan dalam menghadapi krisis, dan ancaman yang tengah kita hadapi saat ini. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu menjaga eksistensi Republik ini, di tengah gelombang perubahan dunia yang tengah terjadi. Politik, pada dasarnya adalah upaya terus-menerus dalam rangka membangun kebaikan bersama. Dalam konteks Indonesia saat ini, kebaikan bersama itu bernama ‘persatuan bangsa’ atau nasionalisme. Karena itu, politik yang ditujukan dalam rangka menjaga dan mengembangkan nasionalisme, adalah wajah politik yang sesungguhnya. Inilah warna politik yang telah menjadi jalan diraihnya kemerdekaan oleh bangsa ini. Politik, yang senantiasa menjunjung tinggi komitmen bagi utuhnya eksistensi Republik Indonesia, serta terbangunnya praktik politik yang mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Dalam sejarahnya, nasionalisme telah teruji menjadi paham yang mampu mempersatukan berbagai elemen bangsa di Tanah Air. Dalam kasus Indonesia, nasionalisme bisa disebut sebagai poros utama eksistensi negara-bangsa ini. Nasionalisme telah menjadi titik temu bagi segala niat baik yang dimiliki oleh setiap partai politik, dan setiap ideologi yang dianut oleh kelompok politik. Politik Kebangsaanpun, kembali mendapati relevansinya dalam kurun satu dekade terakhir ini. Terlebih, saat populisme yang menggunakan politik kebencian dan berhasrat meniadakan yang lain, masih kita rasakan hingga saat ini. Politik kebangsaan menjadi proyek strategis yang bisa menjadi antitesisnya. Politik kebangsaan adalah politik yang mengajak semua pihak kepada semangat persatuan. Bahwa kenyataannya kita berbeda di banyak hal, itu tidak menjadi soal. Yang terpenting adalah, kita semua berkomitmen pada semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Kontestasi dan kompetisi lima tahunan hanyalah siklus semata. Oleh karena itu, jangan pernah korbankan eksistensi bangsa dan negara ini demi sesuatu yang siklikal semata. Karena itu, pemilu bukanlah sekadar ruang kontestasi dan pergantian pemimpin nasional. Pemilu adalah perwujudan dari politik gagasan dan kompetisi yang penuh kedewasaan sikap, serta ruang mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah saatnya kita sudahi praktik politik yang begitu sarat dengan muatan kebencian dan daya rusak sosial. Praktik yang telah menjadi racun bagi kehidupan sosial-politik anak bangsa saat ini. ***

Artikel ini telah dibaca 39 kali

Baca Lainnya

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Ibadah Puasa (2)

5 April 2023 - 11:46 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Puasa Ramadan (1)

4 April 2023 - 14:18 WIB

Khutbah Jumat: Adil Dalam Menilai

17 Februari 2023 - 07:58 WIB

Khutbah Jumat: Iman Adalah Pengalaman

10 Februari 2023 - 07:50 WIB

Khutbah Jumat: Al-Quran, Sudahkah Kita Pahami?

3 Februari 2023 - 07:00 WIB

Khutbah Jumat: Memahami Hakikat Beragama

11 November 2022 - 10:10 WIB

Trending di Kajian Islam