Menu

Mode Gelap
Headline

Opini & Tokoh · 7 Nov 2022 13:24 WIB ·

Fiqih Peradaban Negara dan Bangsa Bagi Warga Nahdliyin di Minangkabau (4)


 Fiqih Peradaban Negara dan Bangsa Bagi Warga Nahdliyin di Minangkabau (4) Perbesar

Prof. Dr. H. Asasriwarni MH
‘Awan PBNU
Guru Besar UIN IB
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar
Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat

 

Persinggungan Agama dan Negara (Simbiotik dan Dinamis-Dialektis)

Awal Kemerdekaan(19451998)

Pada awal awal kemerdekaan Indonesia, berbagai macam komunitas dari agamawan dan negarawan, bersatu padu menyusun kekuatan bersama untuk mendirikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

Kerasnya politik kolonial dan semakin suramnya kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama menyebabkan kebangkitan agamawan dan bangsawan di Nusantara. Sebagai upaya untuk melawan segala macam bentuk penjajahan, baik oleh Bangsa Belanda maupun Bangsa Jepang.

Agamawan dan bangsawan islam, terutama dari kalangan ulama, merupakan tokoh  yang berperan dalam upaya menumbuhkan kesadaran nasional bangsa Indonesia. Juga sebagai katalisator yang menggerakkan massa dalam berjuang melawan pemerintah kolonial.

Sehingga lahirlah seperti Serikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto tahun 1911. Pada tahun 1912 juga berdiri organanisasi Muhammadiyah pimpinan KH Ahmad Dahlan. Dan pada tahun 1926 di kalangan ulama Nusantara lahir Jamiyah Nahdlatul Ulama pimpinan KH Hasyim Asy’arie.

Dan dari kalangan bangsawan muncul juga tokoh tokoh seperti, Sukarno, Muhammad Nasir. Termasuk organisasi nasional pertama yang berdiri  yaitu Budi Utomo. Pendirinya adalah seorang bangsawan bernama Dr. Soetomo. Sehingga usaha-usaha kaum agamawan dan bangsawan dalam berjuang melawan kolonial Belanda tersebut akhirnya membuahkan hasil Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dinamika Hubungan Agama dan Negara

Nah, pada masa awal kemerdekaan Indonesia, agama dan negara mengalami masa-masa krusial. Mengingat persepsi hubungan agama dan negara masih belum tuntas di kalangan tokoh agama dan para pejuang kemerdekaan.

Gerakan formalisasi agama dalam bentuk pendirian negara agama (Islam) dalam kehidupan kenegaraan tersebut pada dasarnya juga pernah muncul pada awal Kemerdekaan RI. Gerakan pendirian negara agama tidak selesai setelah disepakatinya ideologi Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa antara Mohammad Hatta dengan KH Abdul Wahid Hasyim dan kawan-kawan.

Tetapi gerakan itu masih terus bermunculan belakangan hari seperti gerakan pendirian negara Islam. Dimana yang mempelopori adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi, dan Daud Beureueh di Aceh.

Mereka memiliki tafsir berbeda-beda mengenai hubungan agama dan negara yang ideal. Sehingga sebagian kelompok menganggap bahwa yang dimaksud hubungan agama dan negara  yang ideal adalah Piagam Jakarta.

Tetapi hal itu setelah melalui perdebatan dan diskusi yang serius, maka K.H A Wahid Hasyim sebagai salah satu tim mengakomodir dan menerima penghapusan tujuh kata dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) Tahun 1945 dengan ideologi Pancasila.

Dalam rumusan ideologi dan konstitusi tersebut, substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius (religious nation state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga tidak menolak eksistensi negara.

Perbedaan penafsiran Ideologi Pancasila yang berlebihan, sering melahirkan konflik, perselisihan dan kekerasan dalam masyarakat sejak orde lama sampai orde baru. Baik yang berlatar belakang politik, ekonomi, etnis, agama dan sebagainya.

Meskipun sejak awal bangsa Indonesia adalah masyarakat beragama yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh toleransi beragama di dunia. Namun pada era reformasi ini, peristiwa konflik antar-warga, termasuk yang berlatar belakang agama, justru semakin meningkat dibandingkan dengan pada masa-masa sebelumnya.

PascaReformasi (1998sekarang)

Arah kebijakan politik kenegaraan dalam UUD Tahun 1945 memiliki kecenderungan yang inklusif dan aspiratif. Namun sejak era reformasi, arah kebijakan politik kenegaraan tidak lagi berdasarkan pada Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Tetapi berdasarkan  kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Walaupun demikian, spirit keterbukaan kebijakan tetap berjalan dan bahkan lebih aspiratif.

Norma agama Islam dan ideologi Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 memiliki kesamaan tujuan. Yaitu menjaga eksistensi keesaan Tuhan, menjaga harkat dan martabat  manusia, menjaga persatuan dan kesatuan, serta kebijakan kenegaraan dibangun berdasarkan musyawarah.

Empat prinsip tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat Indonesia. Bahkan kemaslahatan umum harus diutamakan dalam menentukan kebijakan negara. Sebab kebijakan kenegaraan harus melahirkan kemaslahatan umum bagi rakyatnya.

Pasal 1 ayat (1) UUD-NRI Tahun 1945 yang merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa  “Negara Indonesia  adalah  Negara  Kesatuan”,   yang berbentuk Republik. Rumusan pasal oleh PPKI tersebut menjadi tekad bulat bangsa Indonesia dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air, yaitu Indonesia.

Tekad bangsa Indonesia yang menghendaki negara kesatuan tersebut kemudian dituangkan dalam pedoman dasar bagi Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) 1999-2000 dalam melakukan Amandemen UUD-NRI Tahun 1945.

Semangat dan tekad untuk mempertahankan NKRI semakin kukuh setelah MPR-RI menyepakati bahwa amandemen tidak mengubah Pembukaan UUD-NKRI 1945 dan tetap mempertahankan NKRI.

Relasi Agama dan Negara dalam Pandangan NU

Penerimaan ulama terhadap eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara berdasarkan kepada fakta bahwa warga negara  Indonesia bersifat majemuk. Sehingga persatuan dalam keragaman menjadi keniscayaan.

Seperti Jamm’iyah Nahdlatul Ulama dalam menempatkan hubungan yang ideal antara agama dan negara. NU juga membangun pemahaman yang benar, dengan menjadikan Pancasila sebagai asas, sedangkan Islam sebagai akidahnya.

KH Ahmad Siddiq, Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ketika Muktamar NU di Situbondo Jawa Timur Tahun 1984 menetapkan rumusan tersebut.  Hubungan agama dan negara yang ideal  tersebut juga merujuk firman Allah yang menjelaskan masalah kesempurnaan agama Islam jika dipahami dan diamalkan secara substantif, bukan dipahami literalistik.

Sehingga tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam, tetapi justru mendorong pemahaman dan pengamalan agama secara substantif serta pembangunan kemaslahatan hidup warga masyarakat. Begitu juga untuk memperkuat integrasi nasional dalam proses demokratisasi yang beradab.

Empat Pilar Kebangsaan

MPR juga telah melakukan berbagai upaya penguatan wawasan kebangsaan warga melalui penguatan empat pilar kebangsaan. Yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinnekaan (kemajemukan).

Upaya ini berbentuk revitalisasi ideologi sebagai suatu platform bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Sementara tingkat pendidikan dan kesejahteraan mereka secara umum masih rendah yang berakibat terhadap rendahnya tingkat kesadaran akan harmoni dan integrasi bangsa.

Dalam perkembangan kehidupan bernegara di Indonesia, tipologi ideal mengenai relasi agama dan negara adalah dengan membangun relasi simbiotik atau dinamis dialektis. Dengan cara menjadikan norma agama Islam sebagai landasan negara.

Negara membangun landasannya untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur norma agama tersebut. Yaitu dengan menggali substansinya, agama dan negara dapat bersinergi menegakkan prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan.

Harmonisasi agama dan negara ini dapat kita temukan diera reformasi ini, dengan banyaknya norma agama Islam yang dilembagakan dalam sistem hukum nasional melalui proses legislasi yang sah, sehingga norma agama sah diberlakukan.

Begitu juga negara bersinergi membangun norma-norma hukum nasional yang bersumber dari norma agama Islam sebagai etika sosial dan moralitas publik. Sehingga norma agama Islam menyatu secara substantif dalam struktur politik Indonesia melalui etika politik bernegara.

Artikel ini telah dibaca 58 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

APE Ramah Lingkungan, Bentuk Kreativitas dari Limbah Konveksi untuk PAUD di Aceh Tengah

30 Agustus 2024 - 23:51 WIB

Belajar dari Hamzah Haz

24 Juli 2024 - 12:37 WIB

Menyoal Politisasi BUMD

6 Juli 2024 - 22:07 WIB

Melawan Diskriminasi, Mengukir Masa Depan Jurnalis Kompeten

4 September 2023 - 16:00 WIB

Kenapa PDIP Ngotot Dengan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup?

11 Februari 2023 - 17:19 WIB

Momentum 1 Abad, Kebangkitan NU dan Jam’iyyah

7 Februari 2023 - 07:24 WIB

Trending di Opini & Tokoh