Prof. Dr. H. Asasriwarni MH
‘Awan PBNU
Guru Besar UIN IB
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar
Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam Indonesia, dari bacaan penulis tentang hubungan antara agama dan negara dapat menjadi 3 kelompok, sebagai berikut :
Penggabungan agama dan negara
Pada awal awal masa kerajaan Islam di Indonesia, agama dan negara adalah satu. Tidak ada dikotomi apalagi pemisahan baik secara pemahaman atapun praktek. Sejarah mencatat integrasi agama dan negara berjalan dengan sangat intensif.
Pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Kerajaan Gowa (1300 M – 1945 M), Kerajaan Islam Cirebon (1430 M – 1677 M), dan lain-lain.
Dimana dalam sistem ketatanegaraannya, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik. Seperti pada zaman Kerajaan Samudera Pasai, pemerintahannya (Negara) menjadikan hukum Islam sebagai referensi utamanya, khususnya dalam bidang keagamaan.
Kemunculan ulama-ulama besar islam pada masa itu menjadi tanda eksistensi gabungan agama dan negara, sebagai contoh nyata yang menggambarkan keberadaan hukum Islam pada masa itu.
Diantara ulama yang terkenal dan juga memiliki karya besar adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya Asfarul `Arifin fi Bayani `ilmis suluki wa tauhid. Juga Nuruddin ar-raniri dengan karya Tibyan fi Ma’rifatil Adyan.
Kitab-kitab tersebut adalah kitab teologi yang membahas secara moderat dengan cara mengemukakan berbagai pandangan dalam kajian teologi, dan shirat al-Mustaqim-kitab fikih terlengkap abad ke-17 dan menjadi rujukan kerajaan; Syamsuddin al-Sumatrani memiliki karya Mi`raj alMuhakkikin al–Iman.
Pemisahan agama dan negara
Islam di Indonesia, pada awalnya dijalankan oleh masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan yang dijalankan pada masa kerjaaan islam pada umumnya. Kehidupan bermasyarakat dan beragama berpedoman pada ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah.
Kerajaan-kerajaan Islam mempraktikan sistem hidup yang sama. Kondisi seperti di atas kemudian berubah ketika pemerintahan kolonial Belanda mengambil alih kekuasaan para Raja Islam pada masa itu. Keberlakuan norma agama Islam mengalami perubahan drastis sejak muncul gerakan modernisasi dari kolonial yang hendak mengubah peta politik dunia menjadi sekuler.
Pelaksanaan ajaran Islam dipisahkan antara politik dan agama. Hal itu menyebabkan semakin berkembangnya kebijaksanaan yang sifatnya intervensionis dari pihak pemerintah Belanda terhadap hukum Islam dan hukum adat setempat.
Sehingga timbul berbagai macam perlawanan yang dilakukan masyarakat Indonesia, seperti Perang Paderi (1821-1827). Tujuan dari perang tersebut adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, yaitu dengan membasmi adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunah Nabi.
Pemerintah kolonial Belanda membantu kaum adat dalam melawan kaum ulama Islam, tidak lain tujuannya adalah ingin memisahkan agama dan bernegara. Sehingga dari kejadian itu kemudian muncul semboyan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitābullah”.
Perang di Bawah Pimpinan Ulama
Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), dan lain-lain, tidak lepas dari keinginan belanda memisahkan agama dan negara. Kolonial berhasil melakukannya dengan cara adu domba.
Perang Aceh (1873-1903) dalam melawan Belanda bernama Prang Beulanda (Perang Belanda), Prang Gōmpeuni (Perang Kompeni), Prang Sabi (Perang Sabil), dan Prang Kaphé (Perang Kafir). Maksudnya rakyat menganggap pemerintah Belanda sebagai pemerintah kafir karena tidak seagama dengan orang Aceh.
Selain itu masyarakat Aceh menyebut Tentara Islam yang mati dalam peperangan tersebut sebagai mati syahid. Demi ambisi mengalahkan kerajaan Aceh, pemerintah hindia belanda, mengutus seorang peneliti bernama Snouck Hurgronje. pemerintah Belanda mendapat petunjuk, bahwa satu-satunya jalan yang baik untuk mengalahkan Aceh, yaitu dengan memecah belah kekuatan yang ada di dalam masyarakat Aceh.
Belanda akan mengerahkan kekuatan senjata untuk kaum ulama yang memimpin perlawanan. Selain itu, Belanda akan membuka kesempatan bagi bangsawan Aceh untuk masuk dalam pegawai pamong praja pemerintah Belanda.
Selain itu mereka mengharapkan golongan rakyat merasa terikat pada Belanda dan menjauh dari golongan ulama. Konflik kaum agamawan memiliki kehendak untuk mengembalikan menerapkan norma-norma agama/Islam secara totalitas.
Sedangkan warga lokal yang berada di pihak kolonial menolak pemberlakuan norma agama tersebut, semua ini bertujuan untuk memisahkan secara totalitas agama dan negara.
Setelah mengetahui tentang sistem Islam tersebut, maka pemerintah Belanda membagi aspek kehidupan Islam dalam arti ”ibadah”, dengan Islam sebagai ”kekuatan politik”. Dalam menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah Belanda mengeluarkan beberapa kebijaksanaan, seperti istilah Islam Politiek.
Taktik Belanda
Snouck Hurgronje merupakan orang yang membantu pemerintah Belanda dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut. Berdasarkan sistem kehidupan umat Islam yang telah ia pelajari, Snouck Hurgronje membagi permasalahan Islam dalam tiga kategori, yaitu; bidang agama murni (ibadah), bidang sosial kemasyarakatan, dan bidang politik/ketatanegaraan.
Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan yang berbeda dalam menghadapi ketiga bidang permasalahan dalam Islam tersebut. Yang paling keras adalah seperti sikap pemerintah Belanda dalam menghadapi Islam sebagai kekuatan politik. Mereka mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islamisme.
Pada akhirnya Belanda baru memahami, bahwa dalam sistem ajaran Islam, tidak ada pemisahan antara ibadah agama secara ritual, dengan politik dalam pengaturan pemerintahan.
Untuk itu, Belanda menekan dan menghalangi setiap gerakan politik masyarakat Islam. Karena akan membahayakan kekuasaan pemerintah Belanda di tempat yang penduduknya mayoritas beragama Islam. (*)
Bersambung..