Menu

Mode Gelap
Headline

Opini & Tokoh · 21 Agu 2022 07:00 WIB ·

Enigma Merdeka Belajar dalam Komunikasi Pendidikan


 Enigma Merdeka Belajar dalam Komunikasi Pendidikan Perbesar

Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah mendampingi pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi.

Saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat dikenal dengan program Merdeka Belajar yang sudah dan sedang berjalan kurang lebih tiga tahun.

Pemerintah membuat program ini untuk membuat peserta ajar baik siswa maupun mahasiswa dapat “bebas” datau “merdeka” memilih minat belajar yang mereka inginkan.

Pelajar tidak perlu lagi sekolah atau kuliah itu secara seratus persen berada di sekolah atau di kampus. Program ini memberikan kesempatan belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan para pelajar di lingkungan luar sekolah atau kampus.

Pemerintahan pada tiap-tiap periode memiliki program-program yang berbeda-beda dan setiap program yang mereka buat, mereka penuh percaya diri itu merupakan solusi atas permasalahan yang terjadi pada pemerintahan periode-periode sebelumnya. Begitu juga “Merdeka Belajar”.

Jika melihat diksi yang digunakan dalam menamai program ini, ada makna lain yang agak jahil dalam merdeka belajar, yaitu suatu kebebasan yang tidak pernah didapatkan sebelumnya dalam belajar.

Ini menandakan bahwa pemangku wewenang sebelumnya tidak memberikan kebebasan dan terkesan terlalu mengatur penuh orang-orang yang menempuh jenjang pendidikan. Tapi tentunya ini bukanlah makna yang sebenarnya dan makna yang dimaksud oleh pemerintah.

Dunia pendidikan di negara ini memiliki keunikan yang menggemaskan di setiap pergantian tahta pemerintahan.

Yakni merubah pola pendidikan dan pengajaran sesuai dengan keinginan atau kewenangan yang diambil oleh pemerintahan yang menjabat.

Setiap perubahan ini memang punya maksud dan tujuan suci yakni memperbaiki dan membuat dunia pendidikan lebih maju dan lebih baik lagi.

Setidaknya masyarakat bisa menemukan kalimat-kalimat serupa itu pada media-media yang memuat berita tentang pemerintah.

Perubahan pola pendidikan dan pengajaran ini menandakan juga bahwa setiap orang yang profesional di bidang pendidikan seperti guru dan dosen, harus beradaptasi lagi dengan sistem yang terbaru.

Terdapat sebuah enigma yang besar dalam merdeka belajar sebagai suatu kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintahan.

Seperti apa implementasi dari konsep yang sudah disusun oleh pemegang kewenangan dan apa realita pencapaian yang dihasilkan dari program ini.

Tak salah ketika banyak yang mempertanyakan apakah program ini hanyalah program yang dibuat sebagai pemenuhan kewajiban karena sudah terlanjur duduk di kursi panas pemerintahan.

Makanya semakin tidak mengherankan ketika muncul enigma yang begitu besar dalam program “Merdeka Belajar.”

Jalannya program “Merdeka Belajar” juga berdampingan dengan era pandemi yang melanda negeri ini kurang lebih dua tahun.

Peralihan proses belajar yang awalnya tatap muka di sekolah atau di kampus menjadi belajar daring memiliki problematik tersendiri untuk jalannya program ini.

Hal ini tentunya membuat kekisruhan tersendiri dalam dunia pendidikan khususnya komunikasi pendidikan. Program yang harus tetap berjalan meskipun badai virus masih melanda.

Hal ini seakan menjadi virus tambahan yang dapat menyerang kesehatan jiwa dari pihak sekolah atau kampus, terlebih guru atau dosen yang bergelut dengan penyesuaian kurikulum untuk belajar mengajar.

Tantangan yang jauh lebih besar berada di pundak semua guru dan dosen setelah adaptasi.

Komunikasi Pendidikan dalam Merdeka Belajar

Merdeka Belajar membawa suasana baru dalam komunikasi pendidikan. Suasana yang bisa menegangkan, sesekali menghangatkan, terkadang menggairahkan, namun jarang mengeluarkan aroma menyejukkan.

Pengamat pendidikan bisa mengamati secara langsung bagaimana problematik program ini melalui komponen-komponen pendidikan yang berkaitan dengan komunikasi menurut M. Nurul Huda (2011: 10) di antaranya:

Peserta didik, murid sekolah dan mahasiswa.

Selama memberlakukan program ini, pemerintah memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam mengambil peminatan dalam belajar.

Teruntuk mahasiswa, program ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih kegiatan yang dirancang oleh pihak kampus melalui panduan dari pemerintah untuk bisa berkegiatan di luar kampus.

Setelah itu, kampus akan mengkonversi kegiatan tersebut ke dalam beberapa mata kuliah yang tersedia. Sekilas tampak merdeka dan sangat bebas, namun dalam praktiknya mahasiswa bisa sangat pusing dengan perhitungan konversi mata kuliah yang mereka dapatkan.

Apa lagi kegiatan yang mereka lakukan tersebut belum tentu dapat mewakilkan mata kuliah yang mereka konversikan.

Pendidik, yakni guru atau dosen.

Pendidik tak lagi fokus bagaimana metode yang bagus dan ampuh agar murid mereka paham dengan materi yang mereka berikan.

Mereka kini lebih terfokus bagaimana memahami kurikulum baru, bagaimana penerapannya, bagaimana sistematikanya, dan segala macam mengenai kemerdekaan yang menjajah mereka.

Sepertinya pemerintah membuat kata merdeka dalam “Merdeka Belajar” hanya untuk pelajar saja, bukan untuk guru-guru mereka.

Guru-guru mendapatkan tuntutan-tuntutan yang membuat mereka kehilangan arah yang seharusnya dan terpaku pada program yang waktunya terhenti ketika pemerintahan berakhir.

Interaksi pendidik dengan peserta didik.

Komunikasi yang terjadi melalui interaksi antara pendidik dengan peserta didik tidak lagi memiliki durasi yang sama seperti dulu.

Dari segi kuantitas waktu, saat ini komunikasi sangatlah minim untuk mereka yang mengikuti program Merdeka Belajar.

Ini karena selama mengikuti program tersebut, peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan di luar kampus dan mengonversikan mata kuliah mereka.

Minimnya waktu interaksi yang terdapat dapat membuat kakunya jalan komunikasi dan interaksi. Peserta didik dan pendidik harus sama-sama beradaptasi lagi dan itu tidak bisa dalam waktu yang sebentar saja.

Tujuan pendidikan.

Merdeka Belajar belumlah memenuhi tujuan pendidikan yang mereka canangkan sendiri. Dengan pelbagai problematika yang ada, pencapaian atas program ini seakan berada di awang-awang.

Tak mencapai langit nan tinggi, tapi tak juga jatuh terjerembap ke bawah. Program seperti ini lebih cocok sebagai program belajar dengan rentang waktu yang tidak lama.

Mengingat pentingnya sekolah bukan hanya berbicara mengenai ketika sudah lulus siap bekerja atau berwirausaha. Pemerintah sedikit mengabaikan nilai, norma dan etika dalam perumusan kebijakan ini.

Pengaruh yang diberikan.

Dengan berlangsungnya pembelajaran secara bebas sedikit banyak mempengaruhi kualitas penerimaan maupun penyampaian materi selama belajar.

Mahasiswa mendapatkan pengalaman baru ketika mereka mengambil program Merdeka Belajar, baik itu pengalaman membangun desa, melakukan riset, magang di perusahaan-perusahaan, dan lain sebagainya.

Di samping itu, ada beberapa hal pula yang tak mereka ikuti di dalam kampus. Makanya pro dan kontra bermunculan dari berbagai pihak yang terkait.

Metode belajar.

Hingga saat ini, banyak institusi pendidikan baik sekolah maupun kampus yang masih mengatakan bahwa mereka masih beradaptasi dengan program ini.

Dalam kenyataannya, tak sampai setengah periode lagi, pemerintahan akan kembali diganti dan kemungkinan besar program pemerintah di bidang pendidikan akan turut pula diganti kalau melihat dari yang sudah-sudah.

Metode belajar yang kerap berganti ini akan membuat ketidaknyamanan belajar mengajar yang dirasakan oleh pendidik dan juga peserta didik.

Lingkungan belajar.

Merdeka belajar membuat siswa dan mahasiswa dapat memilih ke mana mereka bisa belajar selain di sekolah atau kampus mereka asalkan ada kerjasama antara institusi pendidikan mereka dengan tempat tersebut.

Lokasi-lokasi di luar sekolah atau kampus itu akan memiliki permasalahannya sendiri ketika mereka juga baru pertama kali ikut andil dalam program pendidikan. Ada yang siap dan banyak yang kurang siap.

Pembuatan program pendidikan seharusnya bukan sekedar uji coba atau main-main anggaran belaka. Ketika suatu kebijakan dibuat oleh orang yang tidak bijak, maka kebijakan tersebut akan memiliki dampak yang sangat negatif kepada orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut.

Kewenangan untuk merancang dan memberikan solusi terbaik untuk dunia pendidikan seharusnya tidak digunakan sewenang-sewenang.

Jangan biarkan hal ini terus menerus menjadi masalah dalam dunia pendidikan di negeri ini.

Tidak semestinya juga kemerdekaan di dalam mengenyam dunia pendidikan menjadi sebuah enigma yang tak mampu terjawab dan memunculkan misteri yang lebih dahsyat lagi di kemudian hari. (*)

Artikel ini telah dibaca 115 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

APE Ramah Lingkungan, Bentuk Kreativitas dari Limbah Konveksi untuk PAUD di Aceh Tengah

30 Agustus 2024 - 23:51 WIB

Belajar dari Hamzah Haz

24 Juli 2024 - 12:37 WIB

Menyoal Politisasi BUMD

6 Juli 2024 - 22:07 WIB

Melawan Diskriminasi, Mengukir Masa Depan Jurnalis Kompeten

4 September 2023 - 16:00 WIB

Kenapa PDIP Ngotot Dengan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup?

11 Februari 2023 - 17:19 WIB

Momentum 1 Abad, Kebangkitan NU dan Jam’iyyah

7 Februari 2023 - 07:24 WIB

Trending di Opini & Tokoh