MEDIKITA.COM – Sumber dana untuk membiayai kampanye pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilu 2024 mendatang bisa menggunakan dana APBN.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tatacara penggunaan APBN sebagai sumber dana kampanye.
Seperti pada pasal 325 ayat (3), 327 ayat (3), dan pasal 525 ayat (1).
Dalam Pasal 325 ayat (3) UU tersebut menyatakan sumber dana kampanye boleh berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada bagian penjelasan pasal 325 ayat (3) menjelaskan bahwa “Pendanaan yang bersumber dari APBN dialokasikan pada bagian anggaran KPU”.
Mengutip CNNIndonesia, dalam buku berjudul ‘Pembiayaan Pemilu di Indonesia’ (2018) terbitan Bawaslu RI, aturan ini memiliki kaitan dengan sejumlah aktivitas kampanye yang difasilitasi negara melalui anggaran KPU.
Aktivitas kampanye tersebut seperti kegiatan debat, alat peraga kampanye maupun alokasi iklan bagi tiap pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain bersumber dari APBN, UU Pemilu membolehkan sumber pendanaan kampanye berasal dari capres/cawapres bersangkutan.
Juga dari partai politik atau koalisi partai politik yang mengusung serta sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Besaran sumbangan maksimal dana kampanye pun bervariasi. Batasan sumbangan pribadi atau perorangan misalnya dibatasi maksimal sejumlah Rp2,5 miliar.
Sementara sumbangan kelompok, perusahaan, badan usaha nonpemerintah sebesar Rp25 miliar.
Mereka yang menyumbang harus mencantumkan identitas yang jelas. Seperti nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta surat keterangan tentang tidak adanya tunggakan pajak.
“Perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan sumbangan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 1 harus melaporkan sumbangan tersebut kepada KPU,” bunyi pasal 327 ayat (3).
UU Pemilu juga mengatur sanksi bila penerimaan dana kampanye melebihi batas.
Pasal 525 ayat (1) mengatur setiap orang, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu melebihi batas dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. (*)