Menu

Mode Gelap
Headline

Kajian Islam · 21 Agu 2022 07:10 WIB ·

Cara Berwudu Bagi Orang yang Menggunakan Perban, Simak Ulasannya Berikut ini!


 Cara Berwudu Bagi Orang yang Menggunakan Perban, Simak Ulasannya Berikut ini! Perbesar

Fakhry Emil Habib, Lc, Diplm.

 

Mengusap Khuf

Khuf adalah sejenis pembungkus kaki yang terbuat dari kulit, menutupi hingga ke mata kaki.

Pada dasarnya, rukun wudu yang kelima adalah membasuh kaki. Akan tetapi bagi orang yang mengenakan khuf, membasuh kaki itu boleh diganti dengan mengusap khuf.

Ini didasarkan pada perbedaan cara membaca (وأرجلكم) didalam QS : al-Maidah ayat 6, serta hadis yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah.

Jarir melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم buang air kecil, kemudian berwudu dan mengusap khuf beliau. (Bukhari no. 1478, Muslim no. 272).

Ada beberapa persyaratan sehingga membasuh kaki dapat digantikan dengan sekedar mengusap khuf, yaitu;

a. Bahwa khuf itu dikenakan dalam keadaan suci sempurna. Ini berdasarkan hadis dari al-Mughirah bin Syu’bah yang safar bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Beliau kemudian ingin melepas khuf Nabi, namun Nabi bersabda;

دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين

Artinya : “Biarkan saja khuf itu.Sungguh
aku mengenakan keduanya dalam keadaan keduanya suci,”

b. Bahwa khuf itu menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu (seluruh kaki, mencakup mata kaki), karena jika tidak, berarti namanya bukan khuf.

c. Kedap air, kecuali sedikit lubang bekas jahitan, maka itu dimaafkan.

d. Bahannya kuat, sekira-kira bisa dibawa berjalan.

e. Terbuat dari bahan yang suci.

Lamanya masa kebolehan memakai khuf adalah sehari-semalam bagi orang yang mukim, dan tiga hari – tiga malam bagi orang yang musafir.

Suraij bin Hani` mendatangi Aisyah dan bertanya tentang aturan mengusap khuf. Namun kemudian Aisyah menganjurkan agar ia mendatangi Ali, karena Ali lebih mengetahui hal ini dibandingkan dirinya. karena Ali sering menemani Nabi صلى الله عليه وسلم bersafar.

Ketika ditanya, Ali menjawab, “Nabi صلى الله عليه وسلم memberikan (kebolehan mengusap khuf itu) tiga hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi mukim.” (Muslim no. 276).

Tempo sehari semalam atau tiga hari tiga malam ini dihitung sejak hadas pertama setelah pemakaian, bukan sejak pemakaian.

Misalnya ia mukim, mengenakan khuf pada pukul 7 pagi, dan baru berhadas pukul 10 pagi. Maka ia boleh mengenakan khuf itu hingga pukul 10 pagi esok hari.

Jika ia ingin melanjutkan pemakaian khuf, ia mesti melepasnya dulu, mengulang wudu sempurna, baru kemudian khuf dikenakan kembali.

Cara mengusap khuf adalah dengan membasahi tangan, lalu diusapkan pada bagian atas khuf (ini yang wajib). Selanjutnya disunahkan untuk melanjutkan usapan ke bagian bawah khuf.

Ada beberapa hal yang membatalkan kebolehan mengusap khuf, yaitu;

a. Mencopot salah satu khuf. Jika ia ingin pakai kembali, maka ia harus berwudu sempurna terlebih dahulu.

b. Habis masa kebolehannya, baik dengan standar mukim maupun musafir.

c. Terjadi hadas besar, karena mengusap khuf hanya bisa menggantikan basuhan kaki dalam wudu, bukan pada mandi.

Shafwan bin ‘Assal berkata bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan para sahabat apabila safar, untuk mengusap khuf, dan tidak perlu menanggalkannya karena buang air besar, kecil, maupun karena tidur. Kecuali junub, baru dilepas. (HR. Tirmizi no 96, Nasai no 1/83)

Perban

Sebagaimana yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukum asal berwudu adalah membasuh bagian yang harus dibasuh.

Namun bagaimana dengan orang yang menggunakan perban, sehingga ia tidak bisa membasuh bagian yang tertutup? Ini mencakup perban tulang patah (jabâir) serta perban luka (‘ashâib).

Seseorang yang mengenakan perban karena keperluan medis, jika ia hendak berwudu ataupun mandi, harus melaksanakan hal-hal berikut;

a. Ia harus tetap membasuh bagian sehat yang bisa dibasuh.

b. Ia juga membasuh bagian atas perban.

c. Ia bertayamum, sebagai ganti taharah bagi bagian kulit yang tidak terkena air karena tertutup perban.

Tayamum ini harus tetap memperhatikan rukun tartib berwudu. Tayamum juga harus diulang untuk setiap salat wajib, (penjelasan selengkapnya ada pada pembahasan tayamum nanti).

Dalil utama kebolehan ini tentu saja firman Allah di dalam QS : al-Baqarah ayat 286.

Juga terdapat hadis yang cukup panjang dari Jabir, tentang seorang yang kepalanya terluka tertimpa batu dalam perjalanan. Ia kemudian mimpi basah, dan bertanya kepada anggota rombongannya, “Adakah kalian menemukan rukhshah (kemudahan) bagiku untuk bertayamum?”

Rombongannya menjawab, “Kami tidak menemukan rukhshah bagimu, karena engkau masih bisa menggunakan air.” Ia kemudian mandi, namun meninggal.

Berita ini kemudian sampai kepada Rasululullah صلى الله عليه وسلم, dan beliau bersabda;

قتلوه قتلهم هللا! أال سألوا إذ لم يعلموا؟ فإنما شفاء العي السؤال، إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر على جرحه خرقة، ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده

Artinya :
“Mereke telah membunuhnya, Allah pun akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak tahu? Hanyasanya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukup bagi dia sebenarnya bertayamum, kemudian menaruh secarik kain di atas lukanya. Ia kemudian mengusap bagian atas perban tersebut, dan membasuh bagian tubuhnya yang lain (yang sehat)” (HR. Abu Daud no.336).

Berbeda dengan mengusap khuf, mengusap perban ini tidak memiliki batas waktu. Orang sakit bisa terus melakukan hal ini hingga perbannya sudah bisa ditanggalkan.

Namun perlu diperhatikan, bahwa salat yang dilakukan dengan cara bersuci seperti ini tidak selamanya dipandang telah menggugurkan kewajiban.

Dengan kata lain, ada kalanya salat yang dilakukan mesti diulang kembali setelah sehat. Itu bisa diakibatkan beberapa hal berikut;

a. Jika perban dipasang saat pasien tidak dalam keadaan suci sempurna.

b. Jika perban dipasang pada bagian yang
harus diusap saat tayamum (wajah dan tangan).

c. Jika perban melebihi batas darurat.

Jika terjadi hal-hal di atas, maka salat tetap wajib, dan dilaksanakan demi menghormati waktu (الوقت لحرمة).

Namun Salat ini hanya berstatus penghormatan waktu, kewajiban asal belum gugur karena syarat utama salat tidak terpenuhi, yaitu suci.

Wallahu a’lam. (*)

Artikel ini telah dibaca 46 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Ibadah Puasa (2)

5 April 2023 - 11:46 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Puasa Ramadan (1)

4 April 2023 - 14:18 WIB

Khutbah Jumat: Adil Dalam Menilai

17 Februari 2023 - 07:58 WIB

Khutbah Jumat: Iman Adalah Pengalaman

10 Februari 2023 - 07:50 WIB

Khutbah Jumat: Al-Quran, Sudahkah Kita Pahami?

3 Februari 2023 - 07:00 WIB

Khutbah Jumat: Memahami Hakikat Beragama

11 November 2022 - 10:10 WIB

Trending di Kajian Islam