MEDIKITA.COM – Pada bagian kedua ini, kita akan mengetahui alat untuk bersiwak.
Alat yang Bisa Digunakan untuk Bersiwak
Bersiwak menggunakan media yang kasat dapat mengikis kotoran gigi, asalkan alatnya suci. Misalnya ranting kayu arâk, dan inilah yang afdal karena kandungan alaminya yang baik dan unggul. Karena itulah Ibnu Mas’ud Ra berkata, “Saya mempersiapkan alat bersiwak dari kayu arâk bagi Rasulullah Saw.”[1]
Benda lain seperti ranting pohon zaitun, garam abu ataupun sikat gigi kontemporer juga dapat digunakan untuk bersiwak.
Namun, siwak tidak sah jika menggunakan jari tangan sebagai alat. Kecuali saat tidak ada benda lain untuk membersihkan mulut. Ini merujuk pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’.[2]
Kembali pada kaidah awal, segala benda yang bisa membersihkan mulut bisa dipakai untuk bersiwak, meskipun dengan secarik kain.
Adab-adab Bersiwak
- Sunah hukumnya tidak bersiwak menggunakan alat yang licin sehingga kotoran gigi tidak terangkat, ataupun yang terlalu kasar sehingga melukai gusi. Tingkat kekasatan alat sebaiknya menengah.
- Sunah hukumnya untuk bersiwak secara menyamping dari bagian atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas (dimulai dari bagian tengah sehingga membentuk angka 8 – pent). Bersiwak dengan gerakan membujur dapat mengikis gusi dan merusak akar gigi. Namun, kalaupun siwak dilakukan dengan membujur, sunahnya sudah didapat. Bagian geraham juga disikat secara menyamping, bagian luar dan dalam. Sunah pula untuk menggosok secara lembut bagian langit-langit.
- Sunah hukumnya untuk menggunakan kayu arâk, karena ia memiliki aroma yang baik. Maka untuk zaman sekarang, sikat gigi biasanya disertai dengan pasta gigi yang memiliki aroma yang segar.
- Disunahkan untuk memulai siwak dari bagian mulut yang kanan, berdasarkan hadis sahih bahwa Nabi ﷺ suka memulai dengan yang kanan dalam bersuci, melangkah dan segala aktivitas beliau.[3]
Kesunahan ini juga bisa dikiaskan pada ibadah wudu. Mulai dari yang kanan, dengan niat melakukan perbuatan sunah. - Disunahkan untuk membasuh alat bersiwak setelah digunakan, untuk menyingkirkan sisa-sisa kotoran dan aroma mulut. Siti Aisyah Ra berkata, “Nabiyullah ﷺ bersiwak, kemudian beliau memberikan siwak itu kepadaku agar dibasuh. Aku lalu membasuh dan menggunakannya untuk bersiwak. Aku basuh kembali, lalu aku berikan siwak itu kepada beliau.”[4]
- Disunahkan untuk membaca doa saay memulai siwak, yaitu :
اللهم بيّض به أسناني ، وشد به لثاتي ، وثبت به لهاتي ، وبارك لي فيه يا أرحم الراحمين
Artinya : “Ya Allah, putihkanlah dengan ini gigiku, kuatkanlah dengan ini gusiku, kokohkanlah dengannya anak tekakku. Dan berkahilah aku di dalamnya wahai Sang Maha Pengasih.”
Doa ini adalah baik, walaupun tidak punya landasan dalil khusus, tidak menjadi masalah.
- Disunahkan (bagi orang tua – pent) untuk membiasakan siwak pada anak-anak, agar perbuatan ini menjadi kebiasaan, begitu pula dengan ibadah-ibadah lainnya. Tentu saja ini bertujuan agar kebersihan mulut dan gigi si anak selalu terjaga.
- Disunahkan untuk mencongkel sela-sela gigi sebelum bersiwak dari sisa-sisa makanan, agar hasil siwak lebih maksimal.[5]
Faidah-faidah Bersiwak
Siwak memilik banyak manfaat, diantaranya menjaga kebersihan mulut terjaga, ridha Allah didapat, gigi menjadi putih, nafas menjadi segar, mengokohkan punggung (karena otot kepala berkontraksi saat melakukan siwak – pent).
Selain itu, gusi menjadi kuat, memperlambat proses munculnya uban, membersihkan tenggorokan, memperkuat kecerdasan, membuat pahala ibadah menjadi berlipat, mempermudah saat sakaratul maut, membuat pelakunya ingat syahadat saat ajal datang.[6]
Tak heran, para dokter mengkampanyekan pencegahan gigi berlubang dan keropos. Dokter juga menyarankan untuk menghilangkan karang gigi, karena memang hal ini memiliki banyak manfaat.
Seperti mencegah peradangan mulut dan gusi, mencegah kerusakan syaraf mata, pernafasan dan pencernaan, mencegah lemahnya akal serta buruknya akhlak.[7]
Catatan Kaki
[1]. Riwayat Ahmad (I/420).
[2]. Al-Majmu’ (I/335).
[3]. HR. Bukhari (I/74 no 166), Muslim (III/160 no268).
[4]. HR. Abu Daud (I/13).
[5]. Mughni Muhtaj (I/55-56).
[6]. Mughni Muhtaj (I/57).
[7]. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuh (I/460).