Menu

Mode Gelap
Headline

Kajian Islam · 22 Agu 2022 11:21 WIB ·

Apakah Mandi Anda Sudah Benar?


 Apakah Mandi Anda Sudah Benar? Perbesar

Fakhry Emil Habib, Lc, Diplm. 

Mandi adalah perbuatan membasuh tubuh
menggunakan air, disertai niat khusus.
Tujuannya bisa untuk sekedar kebersihan, bisa untuk mengangkat hadas, bisa pula untuk menambah semangat.

Allah SWT berfirman;

إن هللا يحب التوابين ويحب المتطهرين

Artinya : “Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertaubat dan mencintai
orang-orang yang bersuci.” (QS : al-Baqarah ayat 222).

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda dari Abu Hurairah ra;

حق على كل مسلم أن يغتسل في كل سبعة أيام يوما يغسل
فيه رأسه وجسده

Artinya : “Kewajiban atas setiap muslim,
mandi satu hari pada setiap tujuh hari. Ia membasuh kepala dan badannya,” (HR. Bukhari no. 85, Muslim no. 849).

1. Perkara-perkara yang Mewajibkan Mandi

Perkara yang mewajibkan mandi, disebut juga dengan penyebab hadas besar, atau penyebab junub.

Junub sendiri pada dasarnya memiliki makna jauh. Selanjutnya digunakan untuk melambangkan hubungan badan serta keluar mani. Selanjutnya diperlebar lagi maknanya menjadi hadas besar.

Dengan kata lain, makna junub ini bergantung kepada konteksnya. Maka sebab-sebab hadas besar adalah sebagai berikut :

a. Keluar mani, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud dengan mani adalah cairan yang keluar dari kemaluan pada puncak syahwat.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (278)
dan Muslim (313), bahwa Ummu Sulaim mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sungguh Allah tidak malu terhadap kebenaran. Maka apakah perempuan harus mandi jika ia mimpi (basah)?”. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab :

نعم إذا رأت الماء

Artinya : “Ya, jika ia melihat air (mani)”

Dalam riwayat Abu Daud (236) dan lainnya, dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah ditanya tentang laki-laki yang melihat kebasahan (air mani) namun tidak ingat dia mengalami mimpi.Nabi kemudian menyatakan dia harus mandi.

Ada pula lelaki lain yang ingat mengalami mimpi namun tidak mendapati air mani, maka Nabi menjawab bahwa ia tidak perlu mandi.

Ummu Sulaim juga bertanya tentang
wanita yang melihat air mani, maka Nabi
menjawab bahwa ia perlu mandi, karena
wanita adalah saudara laki-laki.

b. Berhubungan badan, meskipun tanpa
keluar mani. Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (287) dan Muslim (348), dari
Abu Hurairah, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda

إذا جلس بين شعبها األربع ثم جهدها فقد وجب عليه الغسل وإن لم ينزل

Artinya : “Apabila ia (laki-laki) telah
duduk di atas keempat persendiannya
(perempuan), kemudian dia
menggagahinya, maka sudah wajib
mandi meskipun dia tidak ejakulasi.”

Dari riwayat Imam Muslim (349), bahwa
Aisyah  berkata, “Dan ketika khitan
menyentuh khitan, mandi menjadi
wajib,”.

Keluar mani menyebabkan wajib mandi,
baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Terkait orang yang melakukan hubungan
badan yang haram, seperti menggauli istri dari dubur, berhubungan sesama jenis ataupun berhubungan dengan hewan,
maka ia juga wajib mandi.

Hubungan yang halal saja menyebabkan junub, apalagi yang haram.

c. Haid, yaitu darah natural yang keluar dari pangkal rahim perempuan pada hari-hari tertentu dalam kondisi sehat.

Haid adalah salah satu penyebab hadas besar, sehingga harus disucikan berdasarkan firman Allah :

وال تقربوهن حتى يطهرن

Artinya : “Dan janganlah kamu dekati
mereka (istri-istri kamu) sampai mereka
suci.” (QS : al-Baqarah ayat 222).

Jika darah yang keluar tidak memenuhi
standar haid, berarti wanita tersebut
hanya mengalami hadas kecil.

Dalam halini, ia setiap hendak salat dia cukup bersuci sebagaimana orang yang dâim alhadats bersuci.

Berdasarkan hadis dari Fatimah binti Hubaisy terkait jawaban Nabi صلى الله عليه وسلم baginya

فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصالة وإذا أدبرت فاغسلي
عنك الدم وصلي

Artinya : “Maka apabila kamu mengalami haid, tinggalkanlah salat. Apabila (durasi) haid telah berlalu (namun darah masih keluar), maka basuhlah darah tersebut, kemudian salat.” (HR. Bukhari no. 226, Muslim no. 333).

d. Melahirkan, ini karena anak yang keluar itu sebenarnya adalah air mani, namun wujudnya telah berubah. Maka hukumnya sama dengan hukum keluar mani, sama-sama menyebabkan hadas besar.

e. Nifas, yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan, setelah rahimnya kosong, baik karena melahirkan, maupun keguguran.

Durasi minimalnya tidak ada (boleh jadi perempuan melahirkan dan tidak ada darah nifas yang keluar, sehingga ia tetap wajib melaksanakan salat).

Durasi maksimalnya 60 hari, sedangkan kebanyakan wanita mengalami nifas selama 40 hari. Ulama telah berijmak, bahwa konsekuensi hukum nifas sama dengan haid.

f. Meninggal.

Untuk sebab ini, yang memandikan adalah orang lain. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda terkait seorang lelaki yang terjatuh dari tunggangannya kemudian terinjak saat ia berihram :

اغسلوه بماء وسدر

Artinya : “Mandikanlah ia dengan air dan sidr (ziziphus spina-christi).” (HR. Bukhari no. 1208, Muslim no. 1206).

Pantangan Bagi Orang yang Berhadas Besar

Yang dimaksud dengan berhadas besar di dalam pembahasan ini mencakup hubungan badan, keluar mani, setelah melahirkan, setelah haid dan setelah nifas.

Larangan bagi wanita yang sedang haid dan sedang nifas akan diberikan setelahnya.

Pantangan bagi orang yang berhadas besar
adalah sebagai berikut;

a. Salat
b. Tawaf
c. Menyentuh dan membawa mushaf.

Tiga hal ini dilarang bagi orang yang berhadas besar, berdasarkan dalil-dalil yang sebelumnya telah dijelaskan di dalam pembahasan pantangan hadas kecil.

d. Berdiam diri di masjid. Sedangkan sekedar lewat di masjid, tanpa berdiam diri, maka hal ini diperbolehkan, berdasarkan firman Allah :

وال جنبا إال عابري سبيل

Artinya : “Dan tidak boleh pula dalam
keadaan junub (mendekati tempat salat)
kecuali hanya sekedar lewat.”

Nabi صلى الله عليه وسلم juga bersabda :

ال أحل المسجد لحائض وال جنب

Artinya : “Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan tidak pula bagi orang junub,” (HR. Abu Daud no. 232).

Sekedar lewat di masjid juga diperbolehkan berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Aisyah, ketika Aisyah mempertanyakan bagaimana mungkin ia
bisa mengambil tikar Nabi yang berada di
dalam masjid, sedangkan ia sedang dalam
keadaan haid

إن حيضتك ليست في يدك

Artinya : “Sungguh (darah) haid engkau
itu tidak di tangan engkau.” (HR. Muslim
no. 298).

Maka dari sini dapat dipahami, bahwa
wanita haid boleh sekedar lewat di masjid selama darahnya aman tersembunyi.

Jika ditakutkan darahnya keluar, maka
jangankan berdiam diri, sekedar lewat
pun haram ia lakukan karena ditakutkan
akan mengotori masjid.

Perlu ditegaskan kembali, berdiam diri di masjid hukumnya haram mutlak bagi wanita haid maupun orang yang junub.

e. Membaca Alquran, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم

ال تقرأ الحائض وال الجنب شيئا من القرآن

Artinya : “Tidak boleh orang haid dan tidak pula junub membaca sesuatupun dari Alquran.” (HR. Tirmidzi no. 131).

Catatan :
Diperbolehkan bagi orang yang junub membaca Alquran jika niatnya bukan untuk tilawah.

Maka ia boleh membaca semisal ayat kursi dengan niat zikir, akhir surat Al-Baqarah dengan niat doa, ayat-ayat ruqyah dengan niat memohon kesembuhan (istisyfâ`).

Ataupun ayat-ayat perintah dan larangan
dengan niat memberi peringatan (tanbîh).

Bagi wanita haid dan nifas, ada
beberapa tambahan larangan, yaitu :

f. Lewat di masjid jika ia takut akan
mengotori masjid, semisal darahnya
banyak dan pembalutnya tidak mencukupi.

Ini berdasarkan hadis yang sebelumnya telah dijelaskan. Menjaga kebersihan masjid dari najis ini sangat penting, sehingga larangan ini juga berlaku bagi orang tua ataupun anak-anak yang tidak bisa diberikan pengertian tentang kesucian.

Takutnya nanti mereka malah buang air atau melakukan tindakan lain yang dapat membuat kesucian masjid menjadi ternoda.

g. Puasa, meskipun ia mampu secara fisik

Berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم ketika ditanya maksud dari kurangnya agama wanita :

أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم؟

Artinya : “Bukankah wanita itu bila ia
haid, ia tidak salat dan tidak puasa?”
(HR. Bukhari no. 298 dan Muslim no. 80).

Ulama juga telah berijmak terkait larangan puasa bagi wanita haid, juga nifas karena hukumnya mengikuti haid.

h. Berhubungan badan, berdasarkan firman
Allah di QS. al-Baqarah ayat 222 yang sebelumnya telah dijelaskan. Juga terdapat banyak hadis yang mendukung.

i. Talak, hal ini haram dilakukan oleh
suami, berdasarkan firman Allah

يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا
العدة

Artinya : “Wahai Nabi, apabila kamu ceraikan para wanita, maka ceraikanlah mereka (dengan menimbang) iddah mereka, dan hitunglah iddah tersebut.” (QS. At-Thalaq ayat 1).

Nabi صلى الله عليه وسلم juga memerintahkan Ibn Umar untuk merujuk istrinya, karena talak tersebut dijatuhkan saat istrinya haid.

Perlu digarisbawahi, meskipun haram,
talaknya tetap sah dan jatuh.

j. Bersuci dengan niat mengangkat hadas,
karena hadasnya tidak akan terangkat
selama durasi haid dan nifas.

Terus melakukan ibadah yang jelas-jelas tidak sah, seolah bermain-main dengan ibadah. Maka hukumnya haram.

Namun jika wudu ataupun mandi dilakukan tanpa niat mengangkat hadas, misalnya sekedar untuk menghilangkan kantuk dan membersihkan badan, maka hukumnya boleh.

Rukun Mandi

a. Niat di dalam hati.

Jika ia kemudian melafazkan niatnya dengan lisan, maka itu lebih baik, karena melafazkan niat itu membantu rukun niat di dalam hati. Sehingga ia tidak dijebak waswas. Dalilnya sama dengan dalil wajibnya niat dalam berwudu.

b. Menyampaikan air ke seluruh tubuh, ini berdasarkan perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (253) dari Jabir bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mengambil air sebanyak 3 kali cidukan dan menyiramkannya ke kepala beliau. Kemudian beliau pun menyiramkan air tersebut ke seluruh tubuh beliau.

Rukun kedua ini dapat terlaksana
walaupun seseorang menceburkan dirinya
ke dalam kolam ataupun sungai, asal
diiringi dengan niat.

Sunah-sunah Mandi

Agar ibadah mandi besar ini menjadi afdal, maka ada beberapa sunah yang bisa dilaksanakan, yang ada beberapa kemiripan dengan sunah wudu sebelumnya. Di antaranya

a. Membasuh tangan sebelum mencidukkannya ke tempat penampungan air.

b. Beristinja sebelum mandi, dilanjutkan
dengan membersihkan kemaluan serta
lipatan-lipatan badan.

c. Berwudu sebelum mandi. Seandainya
orang yang mandi ini memegang
kemaluannya saat mandi, maka wudunya
batal.

Makanya, kemaluan dibersihkan
langsung pada saat istinja, sehingga saat mandi, tinggal menyiramkan air saja ke bagian kemaluan, tanpa menyentuhnya,
berdasarkan riwayat Imam Bukhari (246),
dari hadis Maimunah.

d. Menggeraikan rambutnya dengan tangan
yang telah dibasahi dengan air, kemudian
dibasuh.

e. Mendahulukan yang kanan dari pada yang kiri, berdasarkan perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم (HR. Muslim no. 316).

Mendahulukan yang kanan untuk setiap
perbuatan baik merupakan sunah Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersifat umum.

Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menyukai tayammun (mendahulukan yang kanan) saat memakai sandal, mengeraikan rambut, bersuci serta seluruh kegiatan beliau.

f. Menggosok bagian yang dibasuh.

Ini juga bertujuan untuk memperkecil perbedaan dengan Mazhab Maliki yang mewajibkan gosokan pada setiap basuhan.

g. Membasuh sebanyak tiga kali sebagaimana juga disunahkan dalam berwudu.

h. Berdoa setelah mandi, sama dengan doa
setelah berwudu.

Masih banyak sebenarnya sunah yang
lain, namun ini yang barangkali bisa penulis sajikan dalam tulisan ini, mengingat panjangnya jika semua disajikan.

Terkait hal yang makruh dilakukan
saat mandi, maka ia sama saja dengan hal
makruh dilakukan saat berwudu, dari
berlebih-lebihan menggunakan air, berlebih-lebihan dalam membasuh, ditambah dengan mandi di dalam air sedikit yang tergenang, seperti di dalam bak yang tidak mencapai dua kulah.

Mandi-mandi Sunah

a. Mandi di hari Jumat, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم

إذا أراد أحدكم أن يأتي الجمعة فليغتسل

Artinya : “Apabila salah seorang kamu
hendak pergi Jumat, maka hendaklah dia
mandi,” (HR. Bukhari no.837, Muslim no.
844).

Ini juga disunahkan untuk yang tidak
melaksanakan salat jumat, berdasarkan
sabda Nabi صلى الله عليه وسلم

من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت، ومن اغتسل فالغسل
أفضل

Artinya : “Siapa yang berwudu pada hari
Jumat, maka cukup dengan itu dan itu
baik. Dan siapa yang mandi, maka mandi
itu lebih baik.” (HR. Tirmidzi no. 497).

b. Mandi pada hari raya, baik Idulfitri
maupun Iduladha, berdasarkan perbuatan
sahabat Nabi seperti Abdullah bin Umar  yang diriwayatkan oleh Imam Malik di
dalam al-Muwattha` (1/177).

Ini juga berdasarkan kias terhadap mandi Jumat. Beberapa riwayat yang menjelaskan
bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم melaksanakan mandi pada hari raya itu bersifat daif, akan tetapi maknanya sahih berdasarkan atsar Ibnu Umar yang telah disebutkan di atas.

c. Mandi untuk salat gerhana, dikiaskan
kesunahan mandi sebelumnya.

d. Mandi untuk salat istisqa.

e. Mandi setelah memandikan jenazah,
berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

من غسل ميتا فليغتسل

Artinya : “Siapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi,” (HR.Tirmidzi no. 993).

f. Mandi ihram, berdasarkan riwayat Imam
Tirmidzi (830), bahwa Zaid bin Tsabit
melihat Nabi صلى الله عليه وسلم menanggalkan pakaian beliau untuk berihram, lalu beliau mandi.

g. Mandi sebelum masuk kota Mekah,
berdasarkan perbuatan Ibnu Umar yang beliau sandarkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم (HR. Bukhari no. 1478, Muslim no. 1259).

h. Mandi untuk wukuf di Arafah, juga
berdasarkan perbuatan Ibnu Umar (HR.
Malik 1/322).

i. Mandi untuk melempar jumrah setiap hari tasyriq.

j. Mandi sebelum masuk Kota Madinah,
dikiaskan kepada Kota Mekah.

k. Mandi juga disunahkan untuk menyambut
hal-hal yang dihormati, dikiaskan kepada
mandi-mandi di atas, seperti mandi
menjelang Ramadan.

Ada kalanya mandi disunahkan agar kita lebih giat dalam beribadah, contohnya adalah mandi sebelum melaksanakan salat tarawih. Wallahu a’lam. (*)

Artikel ini telah dibaca 120 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menjemput Keberkahan di Penghujung Ramadhan: Momentum Evaluasi dan Perubahan

27 Maret 2025 - 00:40 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Ibadah Puasa (2)

5 April 2023 - 11:46 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Puasa Ramadan (1)

4 April 2023 - 14:18 WIB

Khutbah Jumat: Adil Dalam Menilai

17 Februari 2023 - 07:58 WIB

Khutbah Jumat: Iman Adalah Pengalaman

10 Februari 2023 - 07:50 WIB

Khutbah Jumat: Al-Quran, Sudahkah Kita Pahami?

3 Februari 2023 - 07:00 WIB

Trending di Kajian Islam