Oleh: Armaidi Tanjung (wartawan utama)
Selasa, 3 Januari 2023, Kementerian Agama Republik Indonesia memperingati hari jadinya ke-77. Kementerian Agama lahir tanggal 3 Januari 1946, tepatnya pada pemerintahan Kabinet Sjahrir II. Tentu di usia 77 tahun, Kementerian Agama sudah melalui perjalanan sejarah yang panjang penuh dengan dinamikanya. Apalagi Kementerian Agama yang mengurusi masalah-masalah keagamaan yang sangat sensitif bagi banyak orang.
Setiap zaman yang dilalui bangsa Indonesia, Kementerian Agama juga hadir dalam melayani kebutuhan dan kepentingan umat beragama di masyarakat. Kementerian Agama yang mewakili pemerintah dalam melayani masyarakat terkait dengan persoalan agama. Sebagai wakil pemerintah, tentu Kementerian Agama melayani pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
Kementerian Agama tentu hadir bagaimana pelayanan keagamaan yang merupakan kebijakan pemerintah dapat terpenuhi. Sehingga masyarakat merasakan bahwa pemerintah dapat memenuhi pelayanan keagamaan yang dibutuhkan.
Sebelum Kementerian Agama dibentuk, maka urusan agama hanya disambilkan kepada beberapa kementerian, seperti masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Begitu juga masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji berada pada Kementerian Dalam Negeri. Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi berada di Kementerian Kehakiman.
Dengan dibentuknya Kementerian Agama, maka tugas-tugas keagamaan yang semula berada di sejumlah kementerian tersebut, disatukan dalam Kementerian Agama. Sehingga pelayanannya lebih maksimal melayani umat beragama.
Sebenarnya, usulan pembentukan Kementerian Agama sudah disuarakan dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945 oleh Muhammad Yamin. Dianggap belum mendesak untuk dibicarakan dan diputuskan, maka Kementerian Agama belum dibentuk saat itu.
Belum dibentuknya Kementerian Agama tersebut tentu saja menimbulkan kekecewaan bagi golongan Islam yang merasa sudah berkorban dengan menghilangkan tujuh kata pada Piagam Jakarta, sebagaimana rancangan dari pembukaan UUD 1945. Tujuh kata yang dihilangkan dalam Piagam Jakarta tersebut adalah “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kata tersebut akhirnya disepakati menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama dari Pancasila hingga kini.
Dalam diskusi pembentukan Kementerian Agama, muncul dua pendapat apakah kementerian itu dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama saja. Dari berbagai pertimbangan peserta sidang yang disampaikan, akhirnya diputuskan menggunakan nama Kementerian Agama. Ini juga menunjukan tingginya nilai-nilai moderat dan toleransi golongan Islam dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah kemajemukan bangsa ini.
Tantangan ke Depan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dan cepat saat ini, menjadi tantangan yang berat bagi Kementerian Agama (Kemenag) dalam melayani dan menghadapi umat. Umat menginginkan pelayanan terbaik yang diberikan jajaran Kementerian Agama. Mulai dari tingkat kementerian, kakanwil, kakamenag, KUA sampai kepada penyuluh agama yang di berada di tingkat kelurahan/desa/nagari. Tentu segenap jajaran Kemenag tersebut menjadi corong dalam pelayanan keumatan yang terkait dengan keagamaan.
Di Provinsi Sumatera Barat, wilayah yang menganut falsafah adat, Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah, tentu jajaran Kemenag harus tampil dengan kearifan lokal tersebut yang tidak bertentangan dengan kebijakan Kemenag itu sendiri. Kebijakan Kemenag yang berskala nasional tentu harus menjadi perhatian dan fokus pelayanan bagi jajaran Kemenag Provinsi Sumatera Barat.
Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas sendiri diawal tugasnya sebagai Menag mengakui, “Problem Kementerian Agama itu hanya dua saja. Pertama korupsi, dan kedua, layanan publik.” Karena tahu masalahnya, Menag tentu hanya fokus pada dua masalah tersebut dalam memimpin Kemenag. Soal korupsi, Menag menjalin kerja sama dengan KPK dan membuat SE 01 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Tata Kelola Birokrasi yang Baik dan Bersih serta Bebas dari Korupsi. Yaqut pun berulang kali menegaskan menjauhi praktik transaksional dalam penempatan/pengangkatan pejabat.
Yang kedua, soal pelayanan publik. Inti dari pelayanan publik tentu bagaimana meningkatkan pelayanan tata kelola yang selama ini sudah berjalan. Ada tujuh program yang dilakukan Yaqut untuk mewujudkan pelayanan publik tersebut.
Pertama, penguatan moderasi beragama. Moderasi beragama ini penting dilakukan karena akan menentukan bagaimana wajah Indonesia ke depan. Corak beragama dengan penguatan moderasi beragama memperlihatkan cara beragama mengambil jalan tengah (tidak ekstrem kanan dan ekstrem kiri). Ada empat indikator utama moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). Seperti di Sumatera Barat, ada kearifan lokal, Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.
Kedua, transformasi digital. Perkembangan teknologi digital harus dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, dan terintegrasi. Kemenag sebagai pusat layanan pendidikan dan keagamaan harus memanfaatkan transformasi digital. Transformasi digital akan memberikan dampak positif, efesiensi, tepat, cepat, akurat dan terintegrasi dalam menjalankan program kerja. Teknologi digital sudah sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan beragama.
Ketiga, revitalisasi KUA. Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di setiap kecamatan merupakan ujung tombak Kemenag dalam pelayanan kepada masyarakat. Karena itu, KUA sebagai pusat layanan keagamaan dituntut tampil prima, kredibel dan moderat. Sehingga mampu memenuhi pelayanan dan meningkatkan kualitas kehidupan umat beragama di tingkat kecamatan. Tentu juga perlu perbaikan infrastruktur, standar layanan, dan sumber daya manusia yang sesuai dengan perkembangan digitalisasi. KUA juga mampu menjadi penggerak moderasi beragama tingkat kecamatan sehingga mampu meredam isu-isu keagamaan yang dapat mengganggu ketentraman masyarakat.
Keempat, Cyber Islamic University (CIU). Kemenag ingin mewujudkan perguruan tinggi Islam berbasis siber sehingga layanan pendidikan dapat merata dan bermutu. Maka Kemenag mengeluarkan kebijakan CIU yang dimulai dari Universitas Islam Ciber Syekh Nurjati Indonesia (UISSI) sebagai pilot project pertama. Program ini didorong menjadi World Class Cyber Islamic University yang akan menjadi role model PTKIN lain.
Kelima, kemandirian pesantren. Pesantren selain berfungsi sebagai pencetak sumber daya manusia yang unggul di bidang agama, keterampilan kerja, dan kewirausahaan, juga mampu menjadi pemberdayaan masyarakat. Di Provinsi Sumatera Barat yang terdapat ratusan pondok pesantren, kebijakan kemandirian pesantren tentu akan memberikan dampak positif dalam peningkatan dan pengembangan pesantren tersebut.
Keenam, Tahun Toleransi 2022. Kebijakan tahun Toleransi ingin mewujudkan lahirnya suasana kebangsaan yang penuh toleransi tanpa diskriminasi. Toleransi beragama dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara penting terus dijaga agar terwujudnya menjaga kerukunan, kedamaian, dan kerja sama antarelemen bangsa, khususnya umat beragama. Tahun Toleransi ini semakin penting untuk menjadi perekat yang sangat kuat, terutama dalam menghadapi tahun politik 2023 sampai 2024. Sehingga tahun politik tersebut tidak menjadi ajang merusak toleransi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketujuh, Religiosity Index (RI). Religiosity Index ingin menjadikan Indonesia sebagai barometer kualitas persaudaraan antar sesama umat Islam, sebangsa, dan umat manusia. Indonesia yang dihuni oleh beragam umat beragama, beragam suku bangsa, beragam warna kulit, mampu menjaga keharmonisan dan moderasi, sehingga dapat menjadi pusat pendidikan moderasi beragama dan kebhinnekaan di dunia. Negara Kesatuan Republik Indonesia diharapkan dapat menjadi rujukan banyak pihak sebagai wilayah yang kondisi ukhuwah Islamiyah, wahtaniyah, dan basyariyahnya tetap terjaga baik.
Semoga tujuh kebijakan Kemenag tersebut dapat terwujud. Pada peringatan ke-77 ini, Kemenag tentu bisa merenung dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan dan bersiap melangkah ke depan, menghadapi tantangan tentunya. Selamat.