NETWORK : RakyatPos | ValoraNews | Kupas Online | TopSumbar | BanjarBaruKlik | TopOne | Kongkrit | SpiritSumbar | Basangek | MenaraInfo | Medikita | AcehPortal | MyCity | ReportasePapua | RedaksiPos | WartaSehat
Adab-adab Beristinja (Bagian 2) - Medikita.com

Menu

Mode Gelap
Camat Banda Raya Lantik Pj Keuchik Gampong Mibo Sah, Dokter Reza Arsalan Dilantik Sebagai Kepala Puskesmas Termuda Se-Aceh Selatan Jelang Tahapan Kampanye Pemilu 2024, KIP Kota Banda Aceh Sosialisasikan PKPU Kampanye dan PKPU Dana Kampanye Undang Prof Muhadam Labolo, Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP USK Selenggarakan Kuliah Tamu Selamat, Jurnal Peuradeun Tembus Scopus

Kajian Islam · 13 Agu 2022 07:00 WIB ·

Adab-adab Beristinja (Bagian 2)


 Adab-adab Beristinja (Bagian 2) Perbesar

MEDIKITA.COM – Adab-adab beristinja berikutnya adalah sebagai berikut;

Makruh hukumnya terkecing di air yang tergenang, baik sedikit ataupun banyak. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir Ra, dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang buang air kecil di air yang tergenang[1], begitu juga buang air besar karena sebab hukumnya lebih besar. Larangan di dalam hadis ini maknanya adalah larangan makruh, namun Imam Nawawi memaknainya sebagai larangan haram.

Makruh pula hukumnya buang air kecil di lubang, karena boleh jadi itu adalah sarang hewan berbisa, atau hewan lain yang mengeluarkan kembali najis tersebut sehingga mengenai orang yang buang air.

Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sarjas, bahwa Nabi ﷺ melarang buang air kecil di lubang[2]. Lubang dalam Bahasa Arab memiliki banyak redaksi, seperti tsaqab. Jika lubangnya panjang dan tidak ada ujung, namanya sarab. Jika ada ujungnya, namanya nafaq (terowongan).

Termasuk yang makruh adalah buang air melawan arah angin, karena angin dapat membuat percikan najis mengenai orang yang buang air. Jika anginnya kuat, maka boleh jadi air seninya itu betul yang membalik dan mengenainya. Buang air kecil ke atas benda yang permukaannya keras juga makruh, karena bisa membuat air kencing memercik kembali kepada orang yang buang air.

Buang air ataupun besar di tempat yang biasa untuk berkumpul hukumnya juga makruh. (misalnya tempat berteduh di musim panas dan tempat berdiang di musim dingin). Termasuk juga di jalanan, karena Nabi ﷺ bersabda :

(اتقوا اللعانين) قالوا وما اللعانان؟ قال (الذي يتخلى في طريق الناس أو في ظلهم)

Artinya : “Waspadalah kalian untuk tidak menjadi dua sebab laknat!” ditanya kepada beliau, “Apa itu dua sebab laknat?” beliau menjawab, “Orang yang buang hajat di tempat berjalan dan tempat berteduh manusia.”[3]

Muaz Ra meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda :

اتقوا الملاعن الثلاثة البراز في الموارد وقارعة الطريق والظل

Artinya : “Berhati-hatilah kalian terhadap tiga tempat yang bisa mendatangkan laknat. Yaitu buang air di tempat aliran air, di tengah jalan dan di tempat orang berteduh.[4]

Makruh juga hukumnya buang air di bawah pohon yang sedang berbuah, agar buahnya tidak jatuh menimpa najis sehingga tidak bisa dimakan. Haram hukumnya buang air di tengah komplek pekuburan.

Makruh hukumnya berbicara saat buang air. Efeknya, ia tidak perlu menjawab salam jika ada yang memberi salam, tidak perlu membaca hamdalah jika bersin dan tidak perlu menjawab azan. Karena Nabi ﷺ tidak menjawab salam saat melakukannya. Setelah beliau berwudu, barulah beliau bersabda :

كرهت أن أذكر الله تعالى إلا على طهر

Artinya : “Aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.”

Disunahkan untuk bersandar pada kaki kiri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Suraqah bin Malik Ra bahwa dia berkata, “Rasulullah ﷺ mengajarkan kami, jika buang air untuk bertumpu pada kaki kiri.”[5]

Perbuatan ini dapat membuat proses buang air lebih mudah. Sunah pula hukumnya memastikan buang airnya telah tuntas, misalnya dengan berdehem, melangkah sedikit, ataupun mengurut zakar dengan tangan kiri, lalu mengeletikkannya sedikit sehigga sisa kencing keluar.

Namun tidak boleh melakukannya secara berlebihan sehingga muncul waswas, ataupun durasi di tandas menjadi lama. Duduk lama saat buang air juga tidak baik karena dapat menyebabkan ambeyen.

Sunah hukumnya istinja menggunakan tangan kiri agar kemaluan menjadi bersih, dengan air, batu dan sejenisnya. Makruh hukumnya istinja menggunakan tangan kanan, begitu pula makruh walaupun hanya sekedar menyentuh dengan tangan kanan, kecuali perlu.

Sehingga untuk beristinja, sebaiknya ia pegang kemaluannya dengan tangan kiri, dan ia pegang batu dengan tangan kanan. Hal itu merujuk hadis yang riwayat Abu Qatadah Ra dari Nabi ﷺ :

إذا بال أحدكم فلا يأخذن ذكره بيمينه، ولا يستنجي بيمينه

Artinya : “Jika salah seorang dari kalian buang air kecil, maka janganlah ia menyentuh zakar dengan tangan kanan. Jangan pula beristinja dengan tangan kanan.”[6]

Ada juga hadis dari Salman al-Farisi Ra, ia berkata, “Rasulullah ﷺ melarang kami untuk beristinja dengan tangan kanan.”[7]

Yang disunahkan adalah, bahwa seseorang tidak beristinja menggunakan air di tempat ia buang air agar air tidak mengenai najis lalu kembali memercik ke badannya. Ini bisa menyebabkan waswas.

Disunahkan untuk tidak melihat kemaluan, melihat najis yang keluar, melihat lagit, menggerak-gerakan tangan ataupun menoleh kanan kiri.[8]

Catatan kaki:
[1]. HR. Muslim (III/187 no 281).
[2]. HR. Ahmad (V/82), Abu Daud (I/7).
[3]. HR. Muslim (III/161 no 269)
[4]. HR. Abu Daud (I/6), Ibnu Majah (I/119).
[5]. HR. Baihaqi (I/96), namun hukumnya daif.
[6]. HR. Bukhari (I/69 no 153) Muslim (III/159 no 267).
[7]. HR. Muslim (III/152).
[8]. Mughni Muhtaj (I/42).

Artikel ini telah dibaca 32 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Ibadah Puasa (2)

5 April 2023 - 11:46 WIB

Nilai Kontrol Syahwat Dalam Puasa Ramadan (1)

4 April 2023 - 14:18 WIB

Khutbah Jumat: Adil Dalam Menilai

17 Februari 2023 - 07:58 WIB

Khutbah Jumat: Iman Adalah Pengalaman

10 Februari 2023 - 07:50 WIB

Khutbah Jumat: Al-Quran, Sudahkah Kita Pahami?

3 Februari 2023 - 07:00 WIB

Khutbah Jumat: Memahami Hakikat Beragama

11 November 2022 - 10:10 WIB

Trending di Kajian Islam